2023 resmi menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah

2023 Tahun Terpanas, Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mencegah Ini Terulang?

2023 adalah tahun terpanas sepanjang sejarah, demikian kesimpulan final dari para peneliti di Copernicus Climate Change Servicce (C3S) baru-baru ini, seperti dilaporkan oleh Reuters.

Pencapaian yang sama sekali tidak membanggakan ini sebenarnya sudah cukup terprediksi. Pasalnya, sejak bulan Juni 2023, Bumi terus memecahkan rekor kenaikan suhu rata-rata.

Kalau dirata-rata, suhu Bumi tahun lalu sekitar 1,48° Celsius lebih panas daripada era pra-industri. Angka tersebut sudah nyaris menyentuh batas 1,5° Celsius yang ditetapkan oleh Persetujuan Paris.

Tren ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Namun apa yang semestinya dapat kita lakukan untuk mencegah Bumi terus bertambah panas? Banyak, berikut penjelasannya.

1. Transisi ke energi terbarukan

Di penghujung acara COP28 bulan lalu, hampir 200 negara sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil dan meningkatkan produksi energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030.

Kesepakatan tersebut didasari oleh berbagai hasil penelitian ilmiah dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa dunia perlu mengurangi konsumsi bahan bakar fosil secara drastis untuk membatasi dampak pemanasan global.

Alasannya sederhana: konsumsi bahan bakar fosil menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2), dan tumpukan CO2 di atmosfer akan memerangkap panas dari matahari.

Dampak dari transisi ke energi terbarukan sendiri sangatlah signifikan. Sebagai contoh, sebuah pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) berkapasitas 200 megawatt yang terdiri dari 50 turbin dapat mewujudkan pengurangan emisi CO2 yang sama seperti menanam 20 juta pohon.

Menurut American Clean Power Association, dampak dari satu PLTB ini saja juga setara dengan menghapuskan 100.000 mobil dari jalanan.

2. Genjot kapasitas energi nuklir

Untuk memastikan pemanasan global tetap terkendali, International Energy Agency (IEA) mengatakan bahwa kapasitas energi nuklir perlu ditingkatkan sebesar 3% setiap tahunnya.

Demi memenuhi target tersebut, sebanyak 22 negara sepakat untuk meningkatkan kapasitas energi nuklir hingga tiga kali lipat pada tahun 2050.

World Nuclear Association percaya bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sangatlah ideal untuk memerangi perubahan iklim karena dapat secara langsung menggantikan peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Tidak seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil, reaktor nuklir tidak menghasilkan CO2 ketika beroperasi.

Di Amerika Serikat, sejumlah perusahaan tengah sibuk mengembangkan reaktor nuklir generasi baru yang berukuran lebih kecil dan lebih murah untuk diproduksi ketimbang reaktor-reaktor yang sudah ada sebelumnya. Sementara di Indonesia, PLTN pertama kabarnya akan beroperasi pada tahun 2032.

Namun meski punya potensi yang menjanjikan, pemanfaatan energi nuklir hingga kini masih memicu perdebatan, terutama karena eksekusinya yang dinilai jauh lebih berisiko ketimbang sumber energi rendah karbon lainnya.

3. Pengurangan emisi metana

Sama seperti CO2, metana (CH4) merupakan salah satu jenis gas rumah kaca (GRK). Konsentrasinya di atmosfer memang tidak sebanyak CO2, akan tetapi metana tetap bertanggung jawab atas 30 persen dari dampak pemanasan global yang kita rasakan sekarang.

Alasannya karena metana dapat menyerap lebih banyak panas daripada CO2. Itulah mengapa pengurangan emisi metana menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Berbagai upaya telah dijalankan untuk memangkas emisi metana. Pada COP28 misalnya, sebanyak 50 perusahaan minyak (yang mewakili hampir separuh total produksi di tingkat global) sepakat untuk mengeliminasi emisi metana pada tahun 2030.

Tak hanya dari sektor energi, emisi metana juga menjadi problem yang serius di sektor peternakan. Negara seperti Swedia saat ini tengah sibuk memikirkan cara yang efektif untuk memangkas emisi metana dari sektor peternakan.

4. Partisipasi individu

Seperti disarankan oleh PBB, upaya untuk menghambat perubahan iklim juga membutuhkan partisipasi masing-masing individu.

Langkah yang paling mudah dilakukan untuk memulai adalah dengan sebisa mungkin menghemat konsumsi energi, entah dengan membatasi penggunaan AC, ataupun dengan mengganti lampu bohlam menjadi LED.

Perkiraannya, peningkatan efisiensi energi suatu rumah secara optimal dapat mengurangi emisi CO2 hingga sekitar 900 kilogram setiap tahunnya — ini baru satu rumah saja.

Cara lainnya bisa juga dengan beralih ke kendaraan listrik, membatasi perjalanan via udara, maupun mengurangi konsumsi daging dari pola makan harian.

Pada akhirnya, semua ini membutuhkan tindakan kolektif, dan tidak ada cara yang lebih baik ketimbang memulai dari pribadi masing-masing.

Sumber: AP. Gambar header: Matt Palmer via Unsplash.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *