Penerapan perdagangan karbon di Indonesia

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia: Penerapan Perdagangan Karbon Masih Penuh Tantangan

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengatakan bahwa penerapan perdagangan karbon di negara ini masih terhambat oleh sejumlah tantangan.

Seperti diketahui, Indonesia telah memiliki bursa karbon nasionalnya sejak 26 September lalu. Langkah tersebut merupakan salah satu cara pemerintah mewujudkan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di negara ini.

Menurut Ketua Umum APHI, Indroyono Soesilo, NEK merupakan salah satu sumber pendanaan yang diperlukan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.

“Untuk melaksanakan NEK, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah regulasi. Meski demikian dalam implementasinya masih penuh tantangan,” tutur Indroyono dalam keterangan tertulis, seperti dikutip dari Antara.

Indroyono turut menyinggung soal komitmen pemerintah untuk melaksanakan Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.

Dari kacamata yang paling sederhana, FOLU Net Sink 2030 merupakan kebijakan publik untuk mewujudkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan yang mampu menyerap lebih banyak emisi atau setidaknya sama dengan yang dikeluarkan.

Untuk mencapai target tersebut, pendanaan yang dibutuhkan diperkirakan mencapai angka $14 miliar dolar. Dari angka tersebut, sekitar 55 persennya diharapkan datang dari investasi sektor swasta, salah satunya melalui NEK.

Dalam upayanya melaksanakan NEK, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, serta Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

Seperti yang sudah disebutkan, pemerintah pun juga telah meresmikan Bursa Karbon Indonesia untuk memfasilitasi perdagangan kredit karbon dalam bentuk Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang telah terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI).

Di Indonesia, saat ini tercatat ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola sekitar 30 juta hektare kawasan hutan.

Keberadaan perusahaan PBPH ini penting karena mereka dapat melaksanakan berbagai aksi mitigasi perubahan iklim.

Dalam konteks FOLU, aksi mitigasi yang dimaksud antara lain mencakup pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut, serta mangrove; pembangunan hutan tanaman; pengelolaan hutan lestari; dan rehabilitasi hutan.

Problemnya, metodologi pengukuran kinerja pengurangan emisi GRK yang digunakan SRN-PPI saat ini masih belum sepenuhnya melingkupi aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030.

Menurut Sekjen APHI, Purwadi Soeprihanto, hal ini pada akhirnya menimbulkan tantangan tersendiri bagi perusahaan PBPH. Ia berharap pemerintah dapat segera menangani persoalan ini.

“Perlu dilakukan percepatan untuk pengesahan metodologi yang bisa diaplikasikan pada PBPH sesuai dengan aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030,” pungkasnya.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *