Industri besi dan baja mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi, namun di saat yang sama, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan juga cukup signifikan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9% dari total emisi industri yang mencapai angka 430 juta ton CO2 pada tahun 2022. Ini berarti industri besi dan baja menghasilkan sekitar 20-30 juta ton CO2 setiap tahunnya.
Singkat cerita, dekarbonisasi perlu diterapkan di industri besi dan baja. Pasalnya, selain berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, industri ini juga punya peran krusial dalam pembangunan infrastruktur, termasuk halnya untuk infrastruktur energi terbarukan.
“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sebuah webinar yang digelar oleh IESR dan Agora Industry.
“Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon,” imbuhnya.
Fabby lanjut menjelaskan bahwa 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia saat ini masih menggunakan teknologi tanur tinggi atau blast furnace, dan bahan bakarnya pun masih didominasi oleh batu bara dan kokas.
Fabby menilai bahwa semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional, maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit di tahun berikutnya.
Studi IESR memberikan tiga rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia. Yang pertama adalah penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat.
Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data, sekaligus memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama terkait pelaporan penggunaan energi dan bahan baku serta limbah yang dihasilkan.
Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi pada tahun 2060 atau lebih awal.
Gambar header: Freepik.