Realisasi investasi proyek energi terbarukan Indonesia tahun ini diprediksi akan menjadi yang terendah sejak tahun 2017.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per November kemarin, Indonesia mengumpulkan investasi energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar $1,17 miliar, alias baru sekitar dua pertiga dari target $1,8 miliar yang ditetapkan untuk tahun 2023.
Ini bukan pertama kali Indonesia gagal mencapai target investasinya. Tahun lalu, pemerintah menetapkan target investasi EBT sebesar $3,91 miliar, akan tetapi yang berhasil terealisasi hanya sekitar 40 persennya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa salah satu penyebab tidak tercapainya target investasi ini adalah karena kurangnya pelelangan proyek energi terbarukan dalam dua tahun terakhir, sementara implementasinya juga telah menurun sejak 2020.
“Peningkatan suku bunga dalam setahun terakhir membuat proyek-proyek tersebut harus dievaluasi kembali kelayakannya meskipun sudah mencapai kesepakatan jual beli listrik (power purchase agreement/PPA),” ujar Fabby kepada The Jakarta Post.
Fabby memproyeksikan bahwa hingga akhir tahun ini, Indonesia hanya akan menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 0,97 gigawatt (GW) dari target 3,4 GW.
Melihat proyeksi tersebut, ada peluang besar bagi Indonesia untuk melewatkan target emisi puncaknya, yang disebabkan oleh progres dekarbonisasi sektor energi yang cenderung stagnan.
Beberapa tantangan lain pun juga dilihat sebagai faktor yang menghambat, seperti misalnya surplus listrik di jaringan Jawa-Madura-Bali, yang pada akhirnya membuat energi terbarukan lebih sulit terjual di wilayah tersebut.
Isu lain adalah terkait persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan kurangnya kapasitas manufaktur dalam negeri. Kurang matangnya rantai pasokan dalam negeri membuat banyak komponen yang harus diimpor, sehingga sulit untuk memenuhi persyaratan TKDN.
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengawasi sektor energi dan industri, Eddy Soeparno, mengatakan bahwa Indonesia punya potensi besar dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB), akan tetapi implementasi persyaratan TKDN untuk proyek energi terbarukan sering kali tidak memenuhi harapan.
Ia mencontohkan PLTS Terapung Cirata yang belum lama ini diresmikan, yang ternyata hanya memenuhi 23 persen dari persyaratan TKDN.
Angka yang terealisasi pada proyek tersebut jauh lebih rendah dari target awalnya yang sebesar 40 atau 60 persen. Menurut Eddy, kalau harus memenuhi kedua angka tersebut, proyek PLTS Cirata jelas tidak akan layak secara ekonomi.
“Rencana kami untuk mengembangkan energi terbarukan sambil mengembangkan ekonomi hijau menemui tantangan. Daya saing di industri kami rendah. Lebih murah untuk mengimpor, tetapi itu juga membutuhkan uang,” tutur Eddy.
Gambar header: Markus Spiske via Unsplash.