Biaya penerapan teknologi CCS lebih mahal daripada biaya pensiun dini PLTU batu bara

Biaya Pensiun Dini PLTU Batu Bara Lebih Murah daripada Penerapan Teknologi CCS

Upaya dekarbonisasi membutuhkan biaya, dan tidak jarang biayanya bisa sangat besar ketika melibatkan solusi seperti teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage – CCS).

Dalam konteks pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara misalnya, penerapan teknologi CCS bahkan dinilai membutuhkan biaya yang lebih mahal ketimbang mengakhiri operasional PLTU lebih awal dari tahun pensiun alaminya.

Hal ini disampaikan oleh Fadhil Ahmad Qamar, Staf Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara, Institute for Essential Services Reform (IESR), pada acara Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Berdasarkan penjelasan Fadhil, biaya penerapan teknologi CCS cenderung tinggi karena besarnya biaya pengadaan atau modal awal yang dibutuhkan. Selain itu, penerapan teknologi CCS juga akan membuat biaya operasional PLTU batu bara membengkak.

Di sisi lain, pensiun dini operasional PLTU batu bara dinilai berpotensi untuk menurunkan emisi yang sama besarnya dengan penerapan CCS, namun dengan biaya yang lebih rendah.

Pun demikian, Fadhil mengatakan bahwa supaya nilai ekonomi antara pensiun dini PLTU batu bara dan penerapan CCS dapat diketahui, maka harus ada penerapan harga karbon yang tepat.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batu bara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batu bara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif, sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil, seperti dikutip dari siaran pers IESR.

Dalam kesempatan yang sama, Raditya Wiranegara selaku Analis Senior IESR menekankan pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pengakhiran dini PLTU batu bara, utamanya jika kegiatan ekonomi masyarakat lokal banyak bergantung pada operasional PLTU batu bara.

Ia juga menyarankan agar pemangku kebijakan menggunakan pendekatan perumusan kebijakan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batu bara yang berbasis data.

Data yang dimaksud bisa mencakup data aset pembangkitnya sendiri maupun biaya-biaya eksternal yang berkaitan dengan operasional, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batu bara.

Raditya menilai rencana penghentian operasional PLTU batu bara perlu dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

Tujuannya untuk meminimalkan dampak penghentian operasional PLTU batu bara, baik bagi masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batu bara.

“Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batu bara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN,” pungkasnya.

Gambar header: Ella Ivanescu via Unsplash.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *