Debat cawapres yang digelar pada 21 Januari kemarin membahas mengenai berbagai topik yang berkaitan dengan transisi energi, kelestarian lingkungan, dan keberlanjutan.
Dalam debat tersebut, salah satu momen yang menjadi highlight adalah perbincangan seputar greenflation.
Apa itu greenflation? Apa kaitannya dengan gerakan rompi kuning? Berikut penjelasannya.
Apa itu greenflation?
Seperti dijelaskan oleh Isabel Schnabel selaku anggota dewan eksekutif European Central Bank (ECB), istilah greenflation mengacu pada kenaikan harga bahan mentah yang dipicu oleh upaya transisi ke energi hijau.
Sebagaimana diketahui, banyak teknologi hijau membutuhkan logam atau mineral seperti tembaga, litium, dan kobalt dalam jumlah besar.
Untuk menggambarkan, kita bisa melihat laporan International Energy Agency (IEA) pada 2021 terkait peran penting mineral dalam transisi energi.
Perkiraannya, pembuatan satu unit mobil listrik membutuhkan sekitar 6 kali lebih banyak mineral dibanding mobil konvensional.
Demikian pula untuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), yang diperkirakan membutuhkan 9 kali lebih banyak mineral dalam pembangunannya dibanding pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).
Nah, seiring implementasi teknologi hijau semakin digalakkan dalam rangka meminimalkan dampak perubahan iklim, maka permintaan (demand) akan logam dan mineral juga bakal terus meningkat drastis.
Namun ketika pasokan (supply) bahan-bahan tersebut tidak bisa mengimbangi permintaannya, maka greenflation pun akan terjadi.
Contoh greenflation
Salah satu contoh greenflation yang paling banyak diberitakan adalah kenaikan harga baterai mobil listrik pada tahun 2022 yang dipicu oleh kenaikan harga bahan mentah, salah satunya litium.
Namun seiring keseimbangan antara pasokan dan permintaan terhadap litium mulai terjadi pada 2023, kestabilan harga baterai mobil listrik pun pada akhirnya juga terwujudkan.
Greenflation dan aksi demo rompi kuning
Perbincangan seputar greenflation pada debat cawapres juga sempat menyinggung soal gerakan rompi kuning. Hal ini mengacu pada aksi Yellow Vests Protests yang terjadi di Prancis pada tahun 2018.
Kalau ingin membahas dari sudut pandang yang lebih teknis, faktor pemicu aksi tersebut sebenarnya bukanlah greenflation, melainkan fossilflation.
Kembali ke penjelasan Isabel Schnabel dari ECB di awal, greenflation sebenarnya baru satu dari tiga fenomena inflasi yang punya kaitan erat terhadap perubahan iklim dan berbagai upaya untuk mengatasinya.
Dua fenomena lainnya adalah fossilflation dan climateflation.
Fossilflation mengacu pada kenaikan harga bahan bakar fosil yang dipicu oleh ketergantungan pada bahan bakar fosil yang masih tinggi dan transisi ke energi rendah karbon yang tidak teratur.
Sebagaimana diketahui, untuk mendorong transisi ke energi bersih, negara pada umumnya menerapkan kebijakan pajak karbon guna membatasi produksi dan konsumsi bahan bakar fosil.
Implementasi kebijakan ini biasanya dapat menyebabkan kenaikan harga bahan bakar, dan inilah yang terjadi di Prancis pada tahun 2018, yang pada akhirnya memicu aksi demo rompi kuning tadi.
Sementara itu, jargon climateflation mengacu pada kenaikan harga yang dipicu oleh ‘dampak fisik’ dari perubahan iklim, seperti misalnya kekeringan, kebakaran, maupun banjir.
Peristiwa-peristiwa ini sudah pasti akan mengganggu alur rantai pasokan, utamanya di sektor agrikultur, sehingga pada akhirnya berujung pada kenaikan harga produk-produk makanan.
Dibanding fossilflation dan climateflation, greenflation cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap kenaikan harga produk yang dibeli oleh konsumen secara langsung.
Kendati demikian, greenflation tetap merupakan faktor yang harus diperhatikan secara saksama dalam menjalankan transisi ke energi bersih.
Gambar header: Freepik.