Energi baru terbarukan atau EBT merupakan istilah yang cukup sering didengar dewasa ini, terutama ketika membahas tentang upaya pengurangan emisi karbon.
Meski istilah ini sudah sangat familier, pada kenyataannya masih banyak yang sering menyalahartikan EBT sebagai suatu kesatuan.
Padahal, istilah EBT sebenarnya merujuk pada dua hal yang berbeda, yakni energi baru dan energi terbarukan.
Masih bingung? Berikut penjelasan lengkapnya.
Apa itu energi baru terbarukan (EBT)?
Seperti yang sudah disinggung, istilah “energi baru terbarukan” (EBT) merupakan gabungan dari “energi baru” dan “energi terbarukan”, masing-masing dengan definisinya sendiri-sendiri.
Energi baru adalah segala bentuk energi yang dihasilkan dari teknologi baru, baik yang berasal dari sumber terbarukan maupun yang tidak terbarukan.
Energi terbarukan di sisi lain adalah energi yang bersumber dari alam bebas, yang dapat diperbarui dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada tingkat konsumsinya.
Dari sini semestinya sudah jelas, bahwa dalam diskusi mengenai EBT, belum tentu yang dibahas semata sumber energi yang dapat diperbarui saja, sebab energi baru juga bisa mencakup bentuk energi yang sifatnya tidak dapat diperbarui.
Lalu apa saja yang layak dikategorikan sebagai EBT? Agar lebih mudah dipahami, ada baiknya kita membahas contoh masing-masing secara terpisah.
Jenis-jenis energi baru
Contoh energi baru dari sumber yang tidak terbarukan adalah gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Dalam Rancangan Undang-Undangan tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang tak kunjung rampung, ketiga produk turunan batu bara itu diklasifikasikan sebagai energi baru.
Contoh lain energi baru dari sumber yang tidak terbarukan adalah nuklir. Bedanya, nuklir bisa dikategorikan sebagai energi alternatif karena tidak menghasilkan emisi karbon sama sekali dalam proses produksinya.
Hal ini jelas berbeda dari produk turunan batu bara yang secara langsung berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), terlepas dari statusnya sebagai energi baru.
Contoh energi baru yang terakhir adalah hidrogen. Uniknya, hidrogen bisa disebut sebagai sumber terbarukan sekaligus tidak terbarukan, tergantung metode produksi yang digunakan.
Kalau hidrogen diproduksi dengan metode steam reforming, maka hidrogen bisa dikategorikan tidak terbarukan karena sumbernya merupakan gas alam.
Sebaliknya, jika hidrogen diproduksi dengan metode elektrolisis, maka hidrogen termasuk energi baru yang bersifat terbarukan karena sumbernya berupa air.
Jenis-jenis energi terbarukan
Beralih ke energi terbarukan, setidaknya ada enam contoh yang paling umum.
Yang pertama adalah energi surya, yang bersumber dari pancaran sinar matahari. Energi surya dapat diubah menjadi energi listrik, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi panel surya fotovoltaik.
Contoh yang kedua adalah energi angin, yang memanfaatkan pergerakan angin untuk memutar turbin, yang kemudian dimanfaatkan untuk menggerakkan generator penghasil listrik.
Berikutnya ada energi air, yang pemanfaatannya pada umumnya melibatkan waduk yang memungkinkan air untuk bergerak dari titik yang lebih tinggi ke rendah, yang kemudian dipakai untuk menggerakkan turbin.
Contoh yang keempat adalah energi panas bumi, atau yang juga dikenal dengan istilah energi geotermal. Energi panas bumi merupakan energi panas yang terbentuk di kerak bumi, baik yang berbentuk uap air ataupun air panas.
Kelima adalah bioenergi, yakni sumber energi yang berasal dari berbagai material organik (biomassa), baik yang dapat digunakan secara langsung maupun yang harus diolah terlebih dahulu.
Terakhir, ada energi gelombang laut yang merujuk pada energi yang dihasilkan dari pergerakan naik-turun ombak laut.
Gambar header: Jason Blackeye via Unsplash.