Debat cawapres yang digelar pada 21 Januari 2024 memicu sejumlah pembahasan menarik terkait transisi energi dan seluruh aspek yang berkaitan, salah satunya mengenai teknologi baterai LFP atau lithium ferro phosphate.
LFP adalah salah satu jenis baterai lithium-ion, dan di artikel ini, kami akan mencoba menjelaskan apa itu baterai LFP secara lengkap, termasuk soal kelebihan dan kekurangannya, serta tren penggunaannya pada mobil listrik.
Apa itu baterai LFP?
Sebagaimana diketahui, baterai lithium-ion memiliki banyak jenis dan umumnya diklasifikasikan berdasarkan bahan yang dipakai untuk komponen katodanya.
Menurut Battery University, saat ini setidaknya ada enam jenis baterai lithium-ion yang paling umum diproduksi, yaitu:
- Baterai lithium cobalt oxide (LCO)
- Baterai lithium manganese oxide (LMO)
- Baterai lithium nickel manganese cobalt oxide (NMC)
- Baterai lithium iron phosphate (LFP)
- Baterai lithium nickel cobalt aluminium oxide (NCA)
- Baterai lithium titanate (LTO)
Sesuai namanya, baterai LFP menggunakan litium besi fosfat sebagai bahan katodanya. Baterai LFP sama sekali tidak mengandung nikel maupun kobalt, dua sumber daya mineral yang cadangannya sangat melimpah di Indonesia.
Kelebihan dan kekurangan baterai LFP
Masing-masing jenis baterai lithium-ion memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri, sehingga pada umumnya mempunyai pengaplikasian yang berbeda pula.
Untuk baterai LFP, kelebihannya ada beberapa. Namun salah satu yang paling utama adalah terkait kelimpahan bahan baku utamanya, yakni besi dan fosfat, yang membuat ongkos produksinya relatif rendah.
Dibandingkan jenis baterai lithium-ion lain, baterai LFP juga mempunyai siklus hidup yang lebih panjang, bisa sampai lebih dari 2.000 kali charge-discharge, sehingga ideal untuk keperluan penyimpanan energi.
Dari segi keamanan, baterai LFP sangat aman untuk digunakan karena tidak mudah terbakar, dan ini membuatnya semakin dilirik oleh produsen mobil listrik dalam beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, kekurangan utama baterai LFP terletak pada kepadatan energinya yang cenderung rendah jika dibandingkan dengan jenis baterai lithium-ion lain.
Hal ini membuatnya kurang cocok dipakai pada mobil listrik yang memiliki varian long-range, seperti misalnya Hyundai Ioniq 5.
Penggunaan baterai LFP untuk mobil listrik
Faktor kepadatan energi tadi membuat baterai LFP masih kalah populer dibanding baterai NCM dalam konteks mobil listrik.
Kendati demikian, baterai LFP belakangan terus mengejar dominasi baterai NMC. Berdasarkan laporan International Energy Agency, baterai NMC memiliki pangsa pasar sebesar 60 persen pada tahun 2022, sementara baterai LFP hampir 30 persen.
Sekitar 95 persen dari seluruh pasokan baterai LFP diproduksi di Tiongkok. Dari total permintaan terhadap baterai LFP, 50 persennya berasal dari BYD, sementara 15 persennya dari Tesla.
Tesla sendiri mulai menggunakan baterai LFP pada Oktober 2021, tapi tidak untuk semua model mobil listrik yang diproduksinya. Pada tahun 2022, sekitar 30% dari semua baterai yang digunakan oleh Tesla adalah baterai LFP.
Data lain yang tak kalah menarik datang dari laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) tahun lalu.
Dijelaskan bahwa 75 persen dari seluruh mobil listrik yang dijual di Indonesia pada tahun 2022 menggunakan baterai LFP.
Mobil listrik yang dimaksud adalah Wuling Air EV, yang ternyata mewakili tiga perempat dari total penjualan mobil listrik pada tahun tersebut.
Di segmen kendaraan listrik roda dua, tren penggunaan baterai LFP pun juga terus meningkat.
Laporan IEEFA mencatat setidaknya ada empat model sepeda motor listrik yang dijual di Indonesia yang memakai baterai LFP, yakni Smoot Tempur, Volta 401, Selis E-Max, dan Polytron Fox-R.
Gambar header: Recurrent.