28 November lalu, maskapai penerbangan Virgin Atlantic berhasil menjalankan penerbangan lintas Atlantik pertama dengan pesawat yang sepenuhnya ditenagai oleh bahan bakar berkelanjutan.
Dikenal dalam industri penerbangan dengan istilah Sustainable Aviation Fuel (SAF), bahan bakar yang diklaim lebih ramah lingkungan ini berhasil menyuplai daya yang cukup untuk menerbangkan pesawat Boeing 787 dari Bandara Heathrow di kota London menuju Bandara JFK di New York.
Penerbangan dengan mengandalkan SAF sebenarnya sudah pernah dilakukan sebelumnya. Salah satunya seperti yang dijalani Garuda Indonesia pada akhir Oktober lalu.
Pun begitu, standar yang ada hanya mengizinkan penggunaan SAF dalam jumlah tidak lebih dari 50% dari komposisi bahan bakar pesawat secara keseluruhan.
Pencapaian terbaru Virgin Atlantic ini sejatinya membuktikan bahwa penerbangan jarak jauh menggunakan pesawat yang 100% ditenagai SAF saja sudah bisa dilakukan secara aman.
Berdasarkan siaran pers Virgin Atlantic, SAF yang digunakan dalam penerbangan ini terdiri dari campuran HEFA (Hydroprocessed Esters and Fatty Acids) dan SAK (Synthetic Aromatic Kerosene). HEFA dibuat dari limbah lemak yang diolah, sementara SAK dari kandungan gula pada tanaman.
Terlepas dari potensinya, peran SAF dalam upaya dekarbonisasi industri penerbangan sejauh ini masih memicu perdebatan, demikian lapor The Guardian.
Di satu sisi, maskapai penerbangan melihat SAF sebagai solusi yang menjanjikan karena dapat digunakan sekarang juga, tanpa perlu memodifikasi armada pesawat yang ada. Ini kontras dengan teknologi pesawat berbahan bakar hidrogen maupun pesawat listrik yang masih jauh dari realisasi.
Di sisi lain, ada pihak yang menilai bahwa dampak penggunaan SAF tidak terlalu signifikan. Pasalnya, emisi yang dihasilkan pesawat berbahan bakar SAF sebenarnya sama dengan menggunakan kerosin pada umumnya.
Yang berkurang pada dasarnya hanyalah emisi siklus hidup atau emisi net-nya — sekitar 70% karbon dapat dihemat dengan mendaur ulang minyak untuk kebutuhan produksi SAF.
Problem lainnya adalah terkait ketersediaan. Suplai SAF yang tersedia saat ini bahkan tidak sampai 0,1% dari total pasokan bahan bakar pesawat secara global.
Untuk menggenjot produksi SAF secara drastis, tentunya dibutuhkan investasi yang besar. Pertanyaannya, apakah dana investasi sebaiknya disalurkan ke solusi yang dinilai kurang begitu efektif seperti SAF, atau lebih baik untuk mempercepat realisasi teknologi lain yang lebih efisien dan berdampak, seperti misalnya pesawat berbahan bakar hidrogen?