Membahas tantangan startup cleantech dengan CEO Rekosistem, Ernest Layman

Membahas Tantangan Startup Cleantech dengan CEO Rekosistem, Ernest Layman

Jumlah startup yang bergerak di bidang cleantech terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh kesadaran akan pentingnya mengambil tindakan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Namun jika dibandingkan dengan startup di bidang-bidang lain, populasi startup cleantech masih terbilang kecil.

Mengapa bisa demikian? Jawabannya tidaklah sesimpel karena umur cleantech yang masih relatif muda, melainkan karena ada tantangan besar yang menghadang, yang mungkin membuat para founder enggan menggali lebih dalam di bidang ini.

Baru-baru ini, tim Solum.id berkesempatan untuk berbincang singkat dengan Ernest Layman, co-founder sekaligus CEO dari startup Rekosistem, dan kami membahas cukup banyak soal tantangan di sektor waste management maupun cleantech secara luas.

Ernest mengakui bahwa menjalankan bisnis di bidang ini memang lebih menantang, terutama jika dibandingkan dengan bisnis konvensional yang metrik kesuksesannya hanya satu, yakni profitability alias keuntungan.

Di ranah cleantech, ada tiga indikator kesuksesan yang perlu diperhatikan, yakni profit, people, dan planet (3P). Tugas setiap startup yang bergerak di bidang ini adalah menyeimbangkan ketiga faktor tersebut, dan sering kali ini yang sulit dilakukan.

Contohnya, ketika sebuah startup terlalu memprioritaskan dampaknya terhadap lingkungan, sering kali mereka akan merugi dari sisi bisnis, dan para pekerjanya pun tidak mendapatkan dukungan finansial yang layak. Alhasil, tidak ada yang tertarik menanam modal.

Sebaliknya, jika sebuah startup terlalu mementingkan keuntungan dari sisi bisnis, maka publik akan meragukan niat baik dan upayanya dalam ‘memperbaiki’ Bumi.

“Sering kali, [startup] terjebaknya hanya condong ke satu atau dua saja. Padahal sebenarnya harus seimbang semua,” tutur Ernest.

Banyak orang yang salah sangka dan beranggapan bahwa sektor ini sulit mendatangkan keuntungan. Di mata Ernest, istilah yang lebih tepat adalah “lebih menantang”, sebab ada tiga area yang harus diseimbangkan itu tadi.

Ernest lanjut menjelaskan bahwa faktor ekonomi sama sekali tidak bisa dihilangkan dari sektor ini. Pasalnya, pendanaan yang disalurkan dalam bentuk grant atau hibah di bidang ini pun tetap mementingkan aspek keberlanjutan dari upaya yang didanai.

Sayangnya, ekosistem pendukung yang ada di sektor cleantech masih kurang ideal bagi startup untuk mencapai keseimbangan 3P tadi. Itulah mengapa Ernest percaya bahwa upaya disrupsi harus dilakukan secara bertahap.

“Istilahnya membuat building block untuk mencapai kondisi yang ideal,” ujar Ernest.

Building block yang dimaksud sendiri adalah solusi yang bisa dikembangkan dan diimplementasikan secara bertahap, untuk kemudian dirasakan manfaatnya oleh sebanyak mungkin pemangku kepentingan. Menurutnya, ini jauh lebih baik ketimbang mencari solusi ideal yang bagus di atas kertas, tapi praktiknya sulit untuk diterapkan.

Manajemen sampah dan tantangannya

Cleantech memiliki banyak subsektor, dan manajemen sampah hanyalah sebagian kecil dari itu.

Rekosistem sendiri memilih mendalami sektor sampah karena tiga hal. Yang pertama adalah karena sektor ini bisa dimulai dari skala kecil.

Berbeda dari sektor renewable energy yang membutuhkan modal besar, sektor sampah bisa digarap dari usaha kecil-kecilan. Ernest mencontohkan bagaimana Rekosistem memulai upayanya dengan bermodalkan satu truk bekas saja.

Alasan kedua berkaitan dengan nilai ekonomi dari sampah itu sendiri. Hal ini memungkinkan Rekosistem untuk tumbuh mandiri secara finansial, tanpa harus mengandalkan bantuan dana eksternal.

Ketiga adalah perkara skalabilitas. Sampah adalah isu yang akan terus ada, dan Ernest percaya mendisrupsi ranah ini bisa mendatangkan dampak yang berkelanjutan.

Saat baru memulai, Rekosistem hanya berfokus pada pengembangan aplikasi. Satu untuk kebutuhan rumahan — yang dapat dipakai warga untuk menyetor sampah — satu lagi untuk kebutuhan bisnis, dengan pihak pengelola perumahan maupun gedung perkantoran sebagai konsumennya.

Namun seiring berjalannya waktu, tim Rekosistem sadar bahwa software saja tidak cukup untuk mengatasi problem yang ada, sebab infrastruktur untuk ekonomi sirkular yang ada di Indonesia masih belum memadai.

Menurut Ernest, rantai permasalahan sampah di negara ini terletak pada sistem ekonomi yang linear, yang menyebabkan penumpukan sampah yang sia-sia.

Pendiri Rekosistem
Para pendiri Rekosistem, Joshua Valentino (kiri) dan Ernest Layman (kanan) / Rekosistem

Ide yang dibawa Rekosistem sebenarnya cukup sederhana, yakni bagaimana cara meningkatkan fungsi tempat penampungan sementara (TPS) menjadi sebuah tempat pemulihan material yang mengedepankan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).

Mereka pun mengimplementasikan solusi sederhana berbasis Internet of Things (IoT) untuk menyederhanakan proses sekaligus memaksimalkan transparansi, seperti contohnya dengan menggunakan timbangan pintar di tiap TPS yang menjadi mitra Rekosistem.

Ernest mengakui bahwa upaya yang diterapkan Rekosistem sangat bergantung pada trial-and-error, sehingga tidak selamanya akan selalu berhasil.

Ia mencontohkan inisiatif Rekosistem untuk membuat vending machine yang dapat dipakai untuk menyetor botol plastik. Sayangnya, berhubung masyarakat Indonesia tidak terbiasa memilah sampah, realisasi ide ini pun tidak berjalan dengan baik.

Ernest menjelaskan bahwa mengubah kebiasaan ini memang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Rekosistem.

Untuk mengambil kepercayaan mitra yang sudah terbiasa dengan prosedur konvensional tidaklah semudah itu, dan mengandalkan hitungan matematis saja sering kali tidak cukup.

Kuncinya, kalau menurut Ernest, adalah memberikan garansi atau jaminan. Jadi selama perubahan yang diterapkan tidak mengurangi nilai ekonomi, calon mitra semestinya akan tertarik — kalau pun pendapatan mereka tidak bertambah, setidaknya lingkungan kerja yang dimiliki bisa jadi lebih baik dengan bantuan Rekosistem.

Ernest pun menceritakan bagaimana di awal mereka pernah ditolak ketika menawarkan kerja sama dengan TPS.

Kala itu, Rekosistem dipercaya untuk mengelola TPS di suatu kawasan pemukiman. Sayangnya, para pekerja di TPS tersebut cenderung tidak percaya dengan perubahan yang ditawarkan, sehingga akhirnya tim Rekosistem yang harus mengerjakan semuanya sendiri.

Saat baru memulai, Rekosistem lebih banyak ditolak ketika mengajukan proposal kerja sama. Namun seiring waktu, hasil yang dicatatkan berhasil membuat kepercayaan terhadap Rekosistem meningkat.

Dampak Rekosistem dan rencana ke depannya

Selama sekitar dua setengah tahun beroperasi (sejak Februari 2021), Rekosistem diklaim telah berhasil mengurangi emisi karbon sebesar lebih dari 18 ribu ton CO2e.

Angka tersebut didapat dari berbagai aktivitas, seperti misalnya mengganti bahan baku mentah menjadi bahan daur ulang (yang pada akhirnya menghemat konsumsi energi), mengubah limbah menjadi bioenergi, maupun mengurangi dan memitigasi pembakaran sampah ilegal.

Fokus Rekosistem saat ini masih di Pulau Jawa, setidaknya sampai satu tahun ke depan. Selain karena populasi masyarakat Indonesia yang terpusat di Pulau Jawa, keputusan ini juga didasari prinsip mindful spending yang diterapkan Ernest.

Rekosistem juga akan meningkatkan kapasitas pengelolaan sampahnya. Per Oktober 2023 lalu, Rekosistem mengelola sekitar 3.000 ton sampah per bulan. Target mereka adalah mengelola 20 ribu ton sampah per bulan.

Salah satu caranya menurut Ernest adalah dengan menambah Reko Hub atau fasilitas pemulihan material baru di berbagai lokasi.

November kemarin, Rekosistem baru saja meresmikan Reko Hub Driyorejo, sebuah fasilitas pemulihan materi berukuran 16.000 meter persegi yang akan melayani beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur.

Reko Hub Driyorejo memiliki kapasitas pengelolaan sampah sebanyak 50.000 ton per tahun, atau kurang lebih sekitar 4 ribuan ton per bulan.

Belum lama ini, Rekosistem juga memperoleh pendanaan senilai $5 juta dari sejumlah investor besar. Pendanaan ini tentunya akan semakin mengakselerasi upaya Rekosistem memperluas bisnis dan cakupannya, sekaligus dampaknya terhadap lingkungan.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *