Penerapan teknologi ozon untuk kurangi sampah makanan

BRIN: Ozon Bisa Jadi Solusi Kurangi Sampah Makanan di Indonesia

Indonesia memiliki problem sampah makanan yang cukup serius, dengan estimasi hampir 300 kg sampah makanan yang dihasilkan setiap orang per tahunnya.

Menanggapi hal ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai penerapan teknologi ozon dapat menjadi salah satu solusi, setidaknya untuk sampah makanan yang masuk kategori food loss.

Food loss merupakan istilah umum yang digunakan untuk sampah makanan yang berasal dari bahan pangan yang masih mentah, yang sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya dibuang begitu saja.

Food waste di sisi lain merupakan makanan yang siap dikonsumsi namun dibuang dan akhirnya menumpuk di tempat pembuangan sampah.

Dari keseluruhan sampah makanan yang dihasilkan di Indonesia, diperkirakan sekitar 5 hingga 20 persennya merupakan food loss.

Kerusakan bahan pangannya sendiri bisa terjadi sejak masih di perkebunan dan ladang, di gudang penyimpanan, maupun ketika sudah dalam perjalanan dan proses pemasaran.

Analis Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ahli Madya dari Pusat Riset Mekatronika Cerdas (PRMC) BRIN, Anto Tri Sugiarto, menjelaskan bahwa salah satu penyebab food loss adalah adanya mikroba yang mengakibatkan hasil pertanian tidak tahan lama.

Menurutnya, salah satu solusi untuk problem sampah makanan adalah teknologi pengawetan berbasis ozon. Aplikasi ozon yang berupa gas maupun cairan dapat membunuh mikroba, virus, jamur, dan bakteri secara lebih baik ketimbang ultraviolet, sehingga hasil pertanian dapat disimpan lebih lama.

Anto lanjut menjelaskan bahwa gas ozon atau O3 merupakan bentuk lain dari gas oksigen yang terbentuk di alam secara alami.

Pun begitu, ozon sekarang juga dapat diproduksi, salah satunya menggunakan teknologi plasma maupun ultraviolet.

Salah satu produk yang umum dijual di pasaran yang dapat memproduksi ozon adalah ozon generator.

“Dengan melalui ozon generator, tiap udara yang mengandung oksigen kemudian oksigennya terpapar oleh lecutan elektron sehingga berubah menjadi ozon,” jelas Anto, seperti dikutip dari siaran pers BRIN.

Alasan ozon dapat membantu proses sterilisasi non-termal adalah kemampuannya berperan sebagai disinfektan yang kuat, dengan oksidasi potensial dua kali lipat kaporit.

Namun terlepas dari potensinya, pemanfaatan teknologi ozon untuk penanganan pasca panen komoditas pertanian harus memperhatikan dosis dan keamanan sesuai standar yang ditetapkan.

“WHO menyampaikan seseorang bisa bekerja dalam satu ruangan selama 8 jam apabila konsentrasi gas ozon di bawah 0,1 ppm, namun jika ditingkatkan hingga 1 ppm hanya boleh berada di ruangan 1,5 jam,” tutur Anto.

Jika melebihi batas yang ditentukan, paparan ozon bisa berdampak buruk terhadap kesehatan, yang umumnya ditandai dengan batuk-batuk dan pusing.

Gambar header: Del Barrett via Unsplash.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *