Pemerintah Indonesia telah resmi mengesahkan regulasi untuk kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024.
Penyusunan Perpres ini mencuri perhatian banyak kalangan, mengingat CCS kerap dinilai memegang peranan strategis dalam transisi energi. Sayangnya, penerapan CCS juga memiliki tantangannya sendiri.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat bahwa mendorong CCS tanpa peta jalan yang jelas terkait pemensiunan energi fosil, khususnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, justru akan mengaburkan masa depan transisi energi negara.
Implementasi CCS yang akan difokuskan pada kegiatan hulu minyak dan gas bumi juga berpotensi menjadikan kedua sumber tersebut sebagai alternatif batu bara.
Konsekuensinya, ruang untuk pengembangan energi terbarukan justru akan semakin menyempit, dan ini jelas bertentangan dengan semangat transisi menuju energi bersih dan berkeadlian.
Deputi Direktur ICEL, Grita Anindarini, mengatakan bahwa saat ini Indonesia masih belum memiliki peta jalan yang jelas terkait pemensiunan PLTU batu bara.
Selain itu, regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan juga masih menjadi salah satu pekerjaan rumah besar pemerintah.
“Adanya Perpres ini dikhawatirkan akan mengaburkan masa depan transisi energi kita karena akan memperpanjang umur bahan bakar fosil, termasuk melalui penggunaan gas yang bukan merupakan jawaban dari transisi energi,” jelas Grita, seperti dikutip dari siaran pers ICEL.
Implementasi CCS menuai kritik
ICEL menekankan setidaknya ada empat hal yang perlu dikritisi terkait Perpres CCS ini.
Pertama, penerapan CCS belum memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Prinsip ini mengharuskan pembuktian bahwa CCS mempunyai dampak yang sangat minim terhadap kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan hidup untuk dapat beroperasi.
Sayangnya, prinsip kehati-hatian ini masih minim dipertimbangkan dalam penyelenggaraan CCS, seperti pada saat penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon yang belum mempertimbangkan risiko lingkungan, kesehatan, dan keamanan. Padahal, CCS memiliki risiko lingkungan dan sosial yang tinggi serta berlangsung dalam jangka panjang.
Kedua, penyelenggaraan CCS minim partisipasi publik. Partisipasi masyarakat baru dimulai dan terbatas pada proses persetujuan lingkungan, dan ini dinilai terlalu terlambat bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan mengajukan keberatan.
Mengingat risiko yang tinggi dari penerapan CCS, masyarakat seharusnya berhak untuk memperoleh informasi dan terlibat aktif sejak awal proses penyelenggaraan CCS, bahkan sejak tahap penyiapan dan penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.
Ketiga, penerapan CCS masih belum memiliki langkah strategis untuk pemulihan lingkungan apabila risiko lingkungan terjadi. Walaupun regulasi ini telah mewajibkan kontraktor dan pemegang izin operasi penyimpanan untuk melakukan monitoring dalam jangka waktu 10 tahun pasca penutupan proyek CCS, patut digarisbawahi bahwa risiko dan bahaya lingkungan tetap dapat terjadi di luar jangka waktu tersebut.
Sayangnya, mekanisme pertanggungjawaban apabila risiko ini terjadi di luar jangka waktu tersebut tidak dijelaskan, termasuk bagaimana tanggung jawab dan strategi untuk memulihkan karbon yang lepas seandainya terjadi kebocoran.
Keempat, pengembangan CCS juga menimbulkan kekhawatiran yang signifikan terhadap perlindungan generasi yang akan datang.
Dengan berbagai insentif yang diberikan regulasi ini kepada pengembangan CCS dan minimnya kerangka pengaman, pengembangan CCS justru akan mengalihkan pertanggungjawaban atas kerusakan jangka panjang yang disebabkan oleh operasi maupun dampak iklim karena terus berlangsungnya penggunaan energi fosil kepada generasi yang akan datang.
Gambar header: Unsplash.