Ratifikasi Paris Agreement di tahun 2016 mewajibkan seluruh negara untuk menunjukkan komitmennya terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Seperti tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia terbaru, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi GRK sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri, atau 43,20% dengan dukungan internasional.
Di tengah berbagai upaya yang dilancarkan, muncul konsep taksonomi hijau yang dinilai sangat penting untuk membantu mengarahkan pertumbuhan ekonomi suatu negara ke arah yang positif tanpa melupakan prinsip-prinsip berkelanjutan. Secara sederhana, taksonomi hijau bisa dianggap seperti panduan yang membantu kita memahami apakah suatu aktivitas, proyek, atau investasi bersifat ramah lingkungan atau tidak.
Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memiliki taksonomi hijaunya sendiri sejak awal 2022 lalu. Di artikel ini, kita akan membahas lebih jauh mengenai apa itu taksonomi hijau, fungsi dan tujuannya, serta perannya dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Definisi dan fungsi taksonomi hijau
Oleh OJK, taksonomi hijau dideskripsikan sebagai klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Penyusunan taksonomi hijau sendiri didasari oleh tiga hal:
- Kebutuhan standardisasi mengenai definisi dan kriteria hijau
- Kebutuhan monitoring secara berkala dalam implementasi penyaluran kredit, pembiayaan, dan investasi ke sektor hijau
- Kebutuhan penyempurnaan pelaporan yang dilakukan oleh industri jasa keuangan
Dibantu delapan kementerian, OJK mengkaji 2.733 klasifikasi sektor dan subsektor ekonomi. Tidak hanya berfokus pada sektor/kegiatan ekonomi yang dikategorikan hijau, taksonomi hijau juga disusun secara struktural berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang juga mencakup sektor/kegiatan usaha yang belum terklasifikasi ke dalam kategori hijau.
Sesuai fungsinya, taksonomi hijau mengklasifikasikan kegiatan/sektor ekonomi ke dalam tiga kategori:
- Hijau — Kategori ini merepresentasikan kegiatan usaha yang melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selain itu, kegiatan usaha yang masuk di kategori hijau juga telah mematuhi standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah, serta menerapkan praktik terbaik di tingkat nasional ataupun internasional.
- Kuning — Kategori ini merepresentasikan kegiatan usaha yang memenuhi beberapa kriteria atau ambang batas hijau. Penentuan manfaat kegiatan usaha ini terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan masih harus ditetapkan melalui pengukuran serta dukungan praktik terbaik lainnya.
- Merah — Kategori ini merepresentasikan kegiatan usaha yang tidak memenuhi kriteria atau ambang batas kuning dan/atau hijau.
Peran dan tujuan taksonomi hijau
Secara umum, taksonomi hijau menawarkan banyak manfaat, di antaranya sebagai panduan untuk mengalokasikan modal, alat untuk mendukung penilaian risiko, dan referensi bagi pemangku kepentingan lainnya dalam mendukung implementasi pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
OJK sendiri menetapkan empat tujuan utama dalam menyusun taksonomi hijau, yaitu:
- Mengembangkan standar definisi dan kriteria-kriteria hijau dari kegiatan sektor ekonomi yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia dengan menerapkan pendekatan berbasis ilmiah.
- Mendorong inovasi dan investasi di kegiatan ekonomi yang memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan menerapkan pendekatan berbasis ilmiah.
- Mendorong pertumbuhan sektor keuangan dalam pendanaan dan pembiayaan kegiatan ekonomi hijau.
- Memberikan acuan bagi Sektor Jasa Keuangan (SJK), investor, pelaku bisnis (nasional dan internasional) untuk mengungkapkan informasi terkait pembiayaan, pendanaan, atau investasi untuk kegiatan ekonomi hijau.
Pada praktiknya, taksonomi hijau ditargetkan namun tidak terbatas pada pelaku SJK (perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank), investor nasional dan internasional, pemerintah, otoritas di bidang jasa keuangan dan moneter, serta lembaga internasional atau organisasi kerja sama regional dan internasional.
OJK berharap pengembangan taksonomi hijau dapat meningkatkan aliran modal menuju kegiatan yang lebih ramah lingkungan. Dengan adanya taksonomi hijau, diharapkan para pelaku di SJK dan pemangku kepentingan dapat memiliki pedoman dalam menjalankan seluruh kegiatan usaha berwawasan lingkungan.
Taksonomi hijau bukan acuan utama
Meski taksonomi hijau sudah bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai kegiatan-kegiatan usaha yang berwawasan hijau, OJK tetap mengingatkan agar dokumen ini tidak dijadikan acuan utama. Hal ini dikarenakan edisi pertama Taksonomi Hijau Indonesia masih memiliki sejumlah keterbatasan, khususnya dalam menjangkau berbagai aspek lingkungan hidup yang lebih luas dan menyeluruh.
Idealnya, penggunaan dokumen ini dapat dikomplementer dengan buku acuan atau panduan sukarela sektoral lainnya yang dikeluarkan oleh regulator, asosiasi industri, ataupun institusi lain yang relevan dan diakui di tingkat nasional maupun internasional.
Lebih lanjut, implementasi Taksonomi Hijau Indonesia sejauh ini juga masih bersifat sukarela dan belum wajib, sehingga tidak bisa sepenuhnya mendorong para pelaku ekonomi untuk bertransisi ke ekonomi hijau.
Satu hal yang pasti, Taksonomi Hijau Indonesia merupakan sebuah ‘dokumen hidup’ yang akan terus disempurnakan seiring berjalannya waktu. OJK sangat terbuka untuk menambahkan atau mengurangi sektor ekonomi yang memenuhi kriteria hijau dan menerapkan pendekatan secara kontinyu.
Gambar header: Freepik.