Status Tiongkok sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar tidak mencegahnya untuk menambah jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Negeri Tirai Bambu tersebut diketahui telah menyetujui penambahan puluhan PLTU batu bara baru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Global Energy Monitor (GEM) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), langkah ini berisiko menggagalkan pencapaian target iklim Tiongkok.
Dalam upaya menekan emisi yang dihasilkan, Tiongkok berjanji untuk secara ketat mengontrol kapasitas PLTU batu bara barunya. Mereka pun juga telah menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga angin dan mataharinya.
Sayangnya, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters, krisis energi yang terjadi pada tahun 2021 memaksa negara tersebut untuk menggenjot kembali pengembangan proyek PLTU batu bara.
Hasilnya, hanya dalam kurun waktu dua tahun saja, Tiongkok telah menyetujui pengembangan proyek PLTU batu bara dengan total kapasitas sebesar 218 gigawatt (GW), cukup untuk memasok listrik ke seluruh Brasil.
Pada tahun 2023, Tiongkok menyetujui penambahan kapasitas PLTU batu bara sebesar 114 GW, atau naik sekitar 10% dibanding setahun sebelumnya.
Pembangunan PLTU batu bara baru dengan total kapasitas sebesar 70 GW telah dimulai tahun lalu, naik dari 54 GW pada tahun sebelumnya.
Sejauh ini, yang tercatat sudah mulai beroperasi memiliki kapasitas 47 GW, naik dari 28 GW pada tahun 2022.
Laporan GEM dan CREA menyimpulkan bahwa Tiongkok perlu mengambil tindakan drastis untuk memenuhi target iklimnya pada tahun 2025. Diperkirakan perlu ada pemangkasan emisi karbon sebesar 4-6% agar itu dapat terwujud.
Sebelumnya, Tiongkok sebenarnya sudah berjanji untuk mengurangi konsumsi batu baranya selama periode 2025-2030. Sayangnya, komitmen ini justru mendorong pengembang untuk membangun sebanyak mungkin kapasitas baru sebelum tahun 2025.
Total kapasitas listrik Tiongkok sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi permintaan. Namun masalahnya terletak di jaringan listrik yang dinilai tidak efisien.
Karena tidak efisien, jaringan listrik yang ada tidak mampu menyalurkan listrik ke tempat yang membutuhkan, terutama yang melintasi batas provinsi, sehingga pada akhirnya Tiongkok mengambil jalan pintas dengan membangun lebih banyak pembangkit listrik.
Gambar header: Freepik.