Studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications menunjukkan bahwa peristiwa cuaca ekstrem — yang dapat secara langsung dikaitkan dengan pemanasan global akibat aktivitas manusia — menimbulkan kerugian sebesar $143 miliar setiap tahunnya.
Secara keseluruhan, biaya kerugian yang disebabkan oleh cuaca ekstrem akibat perubahan iklim selama tahun 2000 hingga 2019 diperkirakan mencapai angka $2,86 triliun, atau rata-rata $143 miliar per tahun.
Menurut The Guardian, angka tersebut sama saja dengan biaya kerugian sebesar $16 juta per jam selama dua dekade terakhir.
Meski kedengarannya besar, para peneliti mengatakan bahwa angka sebenarnya kemungkinan bisa lebih besar lagi. Pasalnya, masih ada banyak data penting yang absen, utamanya yang berasal dari negara-negara berpenghasilan rendah.
“Angka utamanya adalah $140 miliar per tahun, dan pertama-tama, itu sudah merupakan angka yang besar,” ucap Profesor Ilan Noy, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam studi ini, kepada The Guardian.
“Kedua, jika Anda membandingkannya dengan penaksiran standar biaya akibat perubahan iklim [menggunakan model komputer], tampak bahwa penaksiran tersebut meremehkan dampak perubahan iklim,” lanjutnya.
Dari rata-rata biaya kerugian tersebut, hampir dua pertiganya disebabkan oleh hilangnya nyawa, sementara sisanya disebabkan oleh hancurnya properti dan aset lainnya.
Badai tercatat sebagai sumber kerugian terbesar dan bertanggung jawab atas sekitar dua pertiga dari total biaya kerugian, disusul oleh gelombang panas dengan 16%, dan banjir serta kekeringan dengan 10%.
Menurut sang profesor, ada banyak peristiwa cuaca ekstrem yang tidak tercatat datanya. Ia mencontohkan bagaimana data kematian akibat gelombang panas hanya berasal dari Eropa. Tidak ada yang tahu berapa banyak orang yang meninggal akibat gelombang panas di seluruh Afrika Sub-Sahara.
Distribusi biaya kerugian ini bervariasi secara signifikan dari tahun ke tahun. Yang paling parah terjadi pada tahun 2008 dengan nilai kerugian sekitar $620 miliar.
Beberapa contoh kerugian besar yang terjadi akibat peristiwa cuaca ekstrem di antaranya adalah gelombang panas di daratan Eropa pada tahun 2003, Topan Nargis di Myanmar pada tahun 2008, dan gelombang panas di Rusia serta kekeringan di Somalia pada tahun 2010.
Para peneliti mengatakan bahwa metode yang mereka terapkan dapat dipakai untuk menghitung berapa banyak dana yang dibutuhkan untuk membiayai pemulihan di negara-negara miskin.
Metode ini juga dapat dengan cepat menentukan biaya iklim spesifik dari setiap bencana, sehinga memungkinkan penyaluran dana yang lebih cepat.
Gambar header: Freepik.