Sudah bukan rahasia kalau Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang sangat besar. Sayangnya, hingga hari ini potensi tersebut masih belum benar-benar dimaksimalkan.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, mengatakan bahwa realisasi penggunaan energi panas bumi di Indonesia baru sekitar 3.000 megawatt (MW) dari total potensi yang mencapai 24.000 MW.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbesar kedua di dunia (di bawah Amerika Serikat) dan yang terbesar di Asia. Namun kalau melihat total potensinya, kapasitas terpasang PLTP di Indonesia masih tergolong rendah.
“Kontribusi PLTP di Filipina dan Selandia Baru lebih tinggi baurannya daripada PLTP di Indonesia,” ucap Satya dalam webinar “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060″ yang digelar oleh Reforminer Institute pada 15 Januari 2024 di Jakarta.
Pengembangan yang tidak maksimal ini tentu amat disayangkan mengingat panas bumi memiliki banyak keunggulan, termasuk halnya dari sisi ekonomi.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan bahwa hingga saat ini industri panas bumi adalah satu-satunya industri energi baru terbarukan (EBT) yang memberikan kontribusi secara langsung terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bukan cuma itu, penerimaan negara dari panas bumi pun juga terus meningkat seiring waktu; dari Rp343 miliar di tahun 2010 menjadi Rp882 miliar di tahun 2015.
Pada tahun 2018, PNBP panas bumi bahkan sempat menembus angka Rp2,28 triliun, sebelum akhirnya mengalami fluktuasi pada 2019 hingga 2021. Barulah pada tahun 2022, PNBP panas bumi kembali naik menjadi Rp2,8 triliun.
Komaidi turut menjelaskan bagaimana PLTP merupakan salah satu pembangkit listrik dengan biaya operasional yang termurah.
Pada tahun 2021, rata-rata biaya operasional pembangkit listrik nasional berada di angka Rp1.391,08 per killowatt hour (kWh).
Di saat yang sama, rata-rata biaya operasional PLTP hanya berkisar Rp107,15 per kWh, bahkan tidak sampai 10 persen dari rata-rata biaya operasional pembangkit listrik nasional.
Tantangan pengembangan panas bumi di Indonesia
Dalam kesempatan yang sama, Julfi Hadi selaku Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) turut menyampaikan pandangannya terkait isu-isu yang menghambat pengembangan panas bumi di Indonesia.
Menurutnya, setidaknya ada empat problem yang harus diatasi demi memaksimalkan pengembangan panas bumi di tanah air.
Yang pertama berkaitan dengan kebijakan pembeli tunggal, yang berarti energi yang dihasilkan oleh PLTP di Indonesia hanya memiliki satu pembeli saja, sehingga harga jualnya sangatlah bergantung pada pembeli tersebut.
Julfi menilai model bisnis semacam ini harus diubah. Berbagai opsi yang bisa diambil mencakup insentif dan subsidi tarif dari pemerintah, dukungan infrastruktur, serta bantuan lain untuk mengurangi risiko eksplorasi.
Problem yang kedua adalah kurangnya pengembangan teknologi di sektor PLTP, terutama jika dibandingkan dengan industri hulu lain seperti minyak dan gas.
Untuk mengantisipasinya, dibutuhkan kolaborasi antar pihak untuk mendongkrak pengembangan inovasi teknologi, yang pada akhirnya dapat berujung pada peningkatan efisiensi operasional PLTP.
Masalah yang ketiga adalah kurangnya pengembangan produk sampingan sebagai sumber pendapatan tambahan PLTP yang dapat membantu mengompensasi operasionalnya.
Produk sampingan yang dimaksud Julfi sendiri meliputi hidrogen hijau, metanol hijau, ekstraksi silika, serta kredit karbon.
Isu yang terakhir berkaitan dengan keterbatasan rantai pasok dalam negeri. Menurut Julfi, perlu ada peningkatan produksi peralatan PLTP penting di Indonesia demi memangkas harga, waktu, serta meningkatkan pendapatan PLTP.