Produksi listrik bersih menjadi kunci bagi pemerintah Indonesia dalam mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, dan untuk mewujudkannya, biaya investasi yang diperlukan berkisar di angka $1,1 miliar.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, dalam sebuah sesi acara di COP28 pada tanggal 5 Desember lalu. Lebih lanjut, Arifin juga mengungkapkan diperlukannya investasi tambahan sebesar $28,5 miliar hingga tahun 2060.
Dana investasi dengan nilai yang bombastis tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan beserta jaringan transmisinya.
Menurut Arifin, untuk mencapai target NZE 2060, pemerintah berencana menghasilkan listrik sebesar 708 GW. Dari total tersebut, 96 persennya berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan, sementara 4 persen sisanya dari tenaga nuklir.
Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional sempat memaparkan rencana pemerintah Indonesia untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di sekitar tahun 2030.
Kalau merujuk pada dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) negara, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 912 juta ton CO2 pada tahun 2030.
“Adapun di sektor energi, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi menjadi 358 juta ton CO2 pada 2030, dengan mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, bahan bakar rendah karbon, dan teknologi batu bara bersih,” ungkap Arifin, seperti dikutip dari Antara.
Arifin tidak lupa menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, yakni sebesar 3.687 gigawatt (GW), dengan mayoritas energi surya sebesar 3.294 GW.
Arifin mencontohkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata sebagai salah satu wujud komitmen Indonesia dalam memaksimalkan potensi energi terbarukan.
Menyongsong 2030, pemerintah punya rencana untuk menerapkan strategi ganda yang mencakup pengembangan dari sisi suplai, sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, dan dari sisi demand, yang meliputi adopsi kendaraan listrik, kompor induksi, mandatori B40, dan peningkatan praktik manajemen energi di berbagai sektor.
Arifin menegaskan bahwa transisi energi yang berkeadilan tetap menjadi prioritas utama terlepas dari adanya hambatan dari sisi teknologi, rantai pasokan, infrastruktur, pendanaan, dan insentif.
Selain itu, sejalan dengan regulasi terkait konservasi energi yang terbaru, kewajiban pengelolaan energi diperluas untuk pengguna energi tahunan, dengan batasan khusus yang ditetapkan untuk sektor industri sebesar 4.000 ton oil equivalent/TOE, transportasi 4.000 TOE, dan komersial 500 TOE.
“Kemudian, untuk lebih memperkuat komitmen kami terhadap efisiensi energi, kami telah menerapkan kebijakan Standar Kinerja Energi Minimum dan Label Energi untuk enam peralatan utama, yakni AC, lemari es, kipas angin, lampu LED, penanak nasi, dan etalase berpendingin,” pungkas Arifin.
Gambar header: Soren H via Unsplash.