Sekelompok mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta telah berhasil menciptakan alat penangkap karbon dari udara yang mereka sebut sebagai “Carbon Abatement, Performance Tracking, and Utilization with Real Time Evaluation” atau CAPTURE.
Secara sederhana, alat ini memiliki kemampuan untuk menangkap gas karbon dan memantau kadar karbon di udara secara real-time melalui sensor cerdas.
Seperti dijelaskan oleh ketua tim pengembang CAPTURE, Javier Ahmad, alasan utama di balik pengembangan alat ini adalah untuk berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.
Gas karbon, salah satu komponen GRK, tersebar luas di atmosfer, dan oleh karena itu, mereka merasa perlunya sebuah alat yang mampu menyerap udara yang mengandung karbon dan secara spesifik menangkap karbon dari udara.
Metode yang digunakan dalam alat ini adalah adsorpsi fisik dengan membran yang terbuat dari ekstrak tempurung kelapa.
“Penangkapan karbon dengan adsorpsi dianggap sebagai metode yang menjanjikan karena konsumsi energinya yang rendah selama regenerasi, biaya investasi yang rendah, dan tidak ada polutan atau produk sampingan yang dihasilkan,” jelas Javier, seperti dikutip dari siaran pers UGM.
Tempurung atau batok kelapa sendiri dipilih karena keberadaannya yang sangat melimpah, namun belum dimanfaatkan secara optimal.
Selain itu, batok kelapa juga memiliki sejumlah keunggulan, seperti kadar abu yang rendah, mikropori yang banyak, dan reaktivitas yang tinggi.
Menurut beberapa penelitian, batok kelapa memang telah banyak digunakan sebagai filter karbon dan menunjukkan hasil yang bagus.
Alat CAPTURE ini memiliki dimensi yang relatif ringkas — 40 x 26 x 20 sentimeter — sehingga mudah dipindahkan ke berbagai lokasi. Alat ini dapat diaplikasikan di berbagai sektor, termasuk sektor hunian dan industri.
Cara kerjanya sendiri adalah dengan mengisap udara dari area sekitar, kemudian mengeluarkannya setelah proses filtrasi yang menghilangkan karbon dari udara.
Salah satu keunggulan utama alat CAPTURE adalah kemampuannya untuk memantau kualitas udara secara otomatis dan real-time.
Hal ini belum ditemukan pada alat serupa yang beredar di pasaran, yang kebanyakan sistem filternya hanya berfungsi sebagai filter udara, tanpa kemampuan khusus untuk menangkap karbon.
Prototipe alat penyerap karbon ini dikembangkan dengan total dana riset sebesar Rp7,5 juta. Ke depannya, alat ini akan terus dikembangkan dan diproduksi secara massal demi membantu mempercepat upaya pengurangan emisi karbon.