Indonesia merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia, di belakang Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Hal itu didasari oleh pesatnya laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi di tanah air selama beberapa tahun terakhir, dan ini jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Bekerja sama dengan Boston Consulting Group, AC Ventures baru-baru ini merilis laporan komprehensif yang membahas mengenai potensi green growth dan dekarbonisasi di Indonesia. Green growth adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan. Sederhananya, ekonomi harus tetap tumbuh, akan tetapi ada sejumlah hal yang harus dibenahi agar tidak semakin merusak Bumi.
Dalam laporan berjudul “Catalyzing Indonesia’s Green Growth Potential” tersebut, AC Ventures dan BCG menjabarkan secara jelas pentingnya pertumbuhan ekonomi hijau bagi Indonesia. Kita tahu bahwa pemanasan global merupakan isu yang serius, tapi sebagian dari kita mungkin tidak tahu sejauh mana Indonesia bakal terdampak.
Estimasinya, Indonesia bisa kehilangan 17 sampai 40 persen dari total PDB-nya seandainya kenaikan suhu global menembus batas 2° C seperti yang ditetapkan di Paris Agreement. Tak hanya dampak ekonomi, pemanasan global tentu juga punya dampak sosial, sebab es yang terus mencair akan berakibat pada semakin tingginya permukaan air laut. Di Indonesia sendiri tercatat ada sekitar 19 juta orang (sekitar 7,4% populasi) yang tinggal di area dengan ketinggian hanya 5 meter di atas permukaan laut.
Singkat cerita, Indonesia punya alasan kuat untuk beralih ke pertumbuhan ekonomi hijau dengan melibatkan partisipasi dari inovator, investor, serta pembuat kebijakan. Kabar baiknya, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat soal itu.
Untuk mencapai ambisi Indonesia dalam memenuhi net zero emission maksimal pada 2060, pengeluaran publik dan swasta di negara ini diperkirakan bakal mencapai angka $350 miliar per tahun pada 2030. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia perlu mengurangi emisi karbon sebesar 40 sampai 50 persen per unit PDB pada 2030. Artinya, Indonesia harus bisa mendongkrak pertumbuhan ekonominya tanpa meningkatkan emisi karbon secara proporsional.
Langkah-langkah dekarbonisasi Indonesia
Agar rencana dekarbonisasi ini bisa sukses, ada tiga kategori solusi yang bisa dikejar, yaitu solusi agrikultur, solusi energi, dan solusi pengelolaan limbah. Indonesia cukup beruntung karena saat ini sudah ada cukup banyak startup yang mendedikasikan waktu dan sumber dayanya untuk memenuhi ketiga kategori tersebut.
Di sektor agrikultur, ada Neurafarm yang berupaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi rantai pasok agrikultur dengan mengandalkan data dan teknologi. Kemudian ada iGrow yang memfasilitasi pembiayaan produktif di bidang pertanian, tidak ketinggalan pula Aruna yang menyalurkan rantai pasok produk perikanan dari nelayan ke pasar global.
Untuk solusi energi, beberapa contoh startup-nya mencakup Xurya maupun Synergy Efficiency Solutions. Perusahaan penyedia transportasi berbasis listrik juga masuk kategori ini, dan kita tahu bahwa saat ini pemainnya sudah ada banyak sekali di Indonesia. Kendati demikian, masih ada beberapa aspek yang bisa ditingkatkan, yang berkaitan dengan upaya dekarbonisasi itu tadi.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh startup bernama MAKA Motors. Perusahaan yang didirikan di tahun 2022 ini mencoba mengambil pendekatan yang agak berbeda, yakni dengan mengadopsi rantai nilai yang terintegrasi secara vertikal melalui R&D, desain produk, perakitan, dan penjualan maupun layanan purna jual.
Integrasi vertikal semacam ini diklaim memungkinkan perusahaan untuk merancang dan memproduksi produk kendaraan listrik yang benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan pasar Indonesia. Dan karena struktur biayanya yang lebih efisien, MAKA juga optimistis bisa menawarkan harga jual produk yang lebih terjangkau dibandingkan produk whitelabel dengan spesifikasi serupa.
Beralih ke sektor pengelolaan limbah, keberadaan perusahaan seperti Waste4Change menunjukkan bahwa solusi pengelolaan limbah yang holistik sebenarnya sudah tersedia di tanah air sejak lama. Juga tidak kalah besar kontribusinya adalah Surplus, yang berupaya membangun ekosistem end-to-end demi menekan angka limbah makanan secara drastis.
Laporan AC Ventures dan BCG turut memaparkan peluang besar Indonesia di pasar pertumbuhan ekonomi hijau. Spesifiknya, ada tiga area yang bisa menjadi fokus utama, yakni strategi dan layanan profesional, solusi untuk mengoptimalkan intensitas gas rumah kaca, dan kompensasi emisi.
Di Indonesia, ketiga area fokus tersebut dipercaya memiliki potensi pasar senilai $400 miliar pada 2030. Artinya, selain penting untuk kelestarian Bumi, green growth juga merupakan peluang bisnis yang sangat menggiurkan bagi Indonesia.
Tantangan dalam transisi ke pertumbuhan ekonomi hijau
Namun transisi menuju pertumbuhan ekonomi hijau ini jelas bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesarnya adalah krisis sumber daya manusia (SDM) dengan talenta yang sesuai. Laporan RGF di tahun 2019 mencatat bahwa sekitar 50% pengusaha Indonesia di 10 sektor yang berbeda dihadapkan dengan problem krisis SDM yang cukup serius.
Kekurangan ini paling terasa di sektor startup, dan pemerintah Indonesia pun memperkirakan bahwa agar bisa mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang pesat, negara kita membutuhkan setidaknya 9 juta SDM dengan keahlian di bidang teknologi pada tahun 2030. Angka ini kurang lebih 10x lebih tinggi daripada jumlah pekerja talenta digital yang ada di Indonesia pada tahun 2020.
Di ranah green startup, kekurangan SDM-nya malah lebih signifikan lagi, sebab kriteria yang dicari juga lebih spesifik, yakni yang memiliki keahlian di bidang teknologi, industri, dan iklim sekaligus. Salah satu contohnya seperti yang dialami Aruna, yang kesulitan mencari SDM dengan pemahaman di bidang industri perikanan, ilmu data, dan ilmu iklim sekaligus.
Untuk mengatasinya, perusahaan bisa saja menarik tenaga kerja asing, akan tetapi ini pun juga terbukti bukan perkara yang mudah karena adanya isu seperti hambatan bahasa maupun proses aplikasi yang kompleks dan restriktif.
Tantangan lain adalah soal pembiayaan, sebab transisi ke pertumbuhan ekonomi hijau ini membutuhkan investasi yang cukup besar, dan ini berlaku untuk semua pihak yang hendak berpartisipasi. Juga tidak kalah penting adalah pembentukan kerangka regulasi yang bisa mendukung dan memuluskan peralihan ke pertumbuhan ekonomi hijau.
Gambar header: name_gravity via Unsplash.