Perusahaan pengapalan terbesar asal Denmark, Maersk, berencana membangun pangkalan pasokan metanol hijau di Jepang bersama dengan Mitsubishi Gas Chemical.
Ini akan menjadi pangkalan pasokan pertama di Jepang untuk bahan bakar baru yang diharapkan dapat membantu mendekarbonisasi industri pengiriman.
Berdasarkan laporan Nikkei, fasilitasnya akan dibangun di Pelabuhan Yokohama di sebelah barat daya Tokyo. Kedua perusahaan dikabarkan bakal segera menandatangani MoU dengan pemerintah kota Yokohama selaku pemilik pelabuhannya.
Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, fasilitas ini akan mulai memasok metanol hijau untuk armada kapal Maersk beserta kapal-kapal lain pada akhir 2024.
Metanol hijaunya sendiri akan diimpor oleh Maersk, sekaligus dipasok oleh pabrik Mitsubishi Gas Chemical di prefektur Niigata di utara Tokyo.
Sebagai informasi, metanol hijau dibuat dari limbah makanan dan ternak. Bersama dengan amonia, bahan bakar jenis baru ini diharapkan dapat membantu mendekarbonisasi transportasi laut antara Jepang dan negara lain.
International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan bahwa pada 2050, akan ada sekitar 385 juta ton metanol hijau yang diproduksi setiap tahunnya.
Menurut asosiasi perdagangan Methanol Institute, metanol hijau diyakini mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 60 hingga 95 persen jika dibandingkan dengan bahan bakar konvensional yang digunakan kapal peti kemas pada umumnya.
Kendati demikian, metanol hijau masih relatif jarang digunakan secara luas karena harganya yang tinggi, yang diperkirakan bisa dua hingga empat kali lebih tinggi daripada harga minyak berat kapal.
Maersk sendiri mulai mengoperasikan kapal peti kemas yang menggunakan metanol hijau sebagai bahan bakarnya sejak beberapa bulan lalu.
Perusahaan ini juga sudah memesan 25 kapal serupa dan berencana mengoperasikannya di Asia mulai musim semi tahun depan, di rute antara Eropa dan Amerika Utara.
Negara-negara diharapkan dapat mendekarbonisasi transportasi laut dengan membangun ‘koridor pengiriman hijau’, yang pada dasarnya merupakan rute yang memungkinkan pengiriman tanpa emisi.
Mendirikan pangkalan pasokan sangatlah penting untuk memastikan pelabuhan domestik dilayani oleh kapal-kapal hijau.
Seiring perusahaan-perusahaan mendapat tekanan untuk mengurangi emisi di seluruh rantai pasokan mereka, berbagai langkah untuk mengembangkan jaringan logistik yang rendah emisi karbon pun jadi semakin giat dijalankan.
Juli lalu, International Maritime Organization (IMO) sepakat untuk membuat emisi dari kapal-kapal laut menjadi netral pada sekitar tahun 2050.
Mulai tahun depan di Eropa, kapal-kapal yang berlayar dari dan ke wilayah tersebut diwajibkan membeli kuota emisi di bawah EU Emissios Trading System (EU ETS).
Kebijakan ini berlaku untuk kapal dengan daya angkut 5.000 ton atau lebih yang beroperasi dari atau ke European Economic Area (EEA), yang mencakup negara-negara anggota Uni Eropa, serta Islandia, Liechtenstein, dan Norwegia.
Kapal yang mengambil rute di dalam EEA akan dikenai biaya atas 100% emisi yang dihasilkan. Sementara untuk rute yang masuk atau keluar dari EEA, mereka akan dikenai biaya kuota sebanyak setengah dari total emisinya.
Kebijakan ini mungkin akan membuat kapal-kapal tua dengan tingkat emisi yang tinggi menjadi lebih mahal untuk dioperasikan, sehingga pada akhirnya dapat mempercepat dekarbonisasi industri pengiriman via laut.