Tahun demi tahun, dampak perubahan iklim global terus bertambah signifikan. Jika terus dibiarkan, isu ini akan terus menggerus ekonomi banyak negara. Di Indonesia sendiri, dampak perubahan iklim ke sektor ekonomi sudah masuk taraf cukup serius.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Filianingsih Hendarta, mengestimasikan bahwa total nilai kerugian yang ditanggung Indonesia akibat perubahan iklim mencapai 112 triliun rupiah hanya untuk tahun ini saja. Nilai kerugian tersebut ditaksir setara 0,5 persen dari PDB negara.
“(Nilai kerugian) ini lebih tinggi daripada potensi 2022 dan 2021 di mana masing-masing sebesar Rp109 triliun dan Rp106 triliun,” ungkap Filianingsih dalam acara UMKM Go Green: Sustain and Go Global yang digelar Sabtu (29/7) lalu di Jakarta Convention Center (JCC), seperti dikutip oleh Liputan 6.
Sepintas, 0,5 persen mungkin masih terkesan kecil. Namun tentu ada potensi kenaikan secara eksponensial. Filianingsih lanjut menjelaskan bahwa dalam laporan suatu lembaga riset asal Swiss di tahun 2021, kerugian yang disebabkan oleh cuaca ekstrem diperkirakan bisa mencapai 10 persen dari PDB global di tahun 2050.
Singkat cerita, perlu ada tindakan yang diambil untuk mengatasi problem ini. Filianingsih pun mengajak para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk melakukan transformasi bisnis yang lebih ramah lingkungan. Beliau percaya bahwa UMKM memiliki kontribusi penting dalam mengatasi isu ini bersama-sama.
Guna mewujudkan visi “UMKM Hijau” tersebut, BI pun menyusun referensi model bisnis yang bisa diterapkan oleh para pelaku UMKM. Model bisnis ini dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan tahapan implementasinya, yakni eco-adopter, eco entrepreneur, dan eco-innovator.
Seperti dijelaskan dalam siaran persnya, model bisnis pada kategori eco-adopter ditujukan untuk UMKM yang sudah mulai mengadopsi praktik ramah lingkungan, namun belum untuk keseluruhan proses bisnisnya. Eco-entrepreneur di sisi lain sudah menerapkan praktik ramah lingkungan di seluruh proses bisnisnya, serta sudah bisa menangkap peluang “pasar hijau”. Terakhir, ada eco-innovator yang telah menerapkan berbagai inovasi ramah lingkungan untuk meningkatkan berbagai aspek bisnisnya.
Dalam kesempatan yang sama, Filianingsih tidak lupa menyoroti dampak sosial yang disebabkan oleh perubahan iklim. Menurutnya, salah satu contoh nyata yang tidak boleh dikesampingkan sama sekali adalah meningkatnya permukaan air laut sekitar 0,8 sampai 1,2 cm setiap tahunnya. Hal ini tentu berpotensi mengancam kelangsungan hidup masyarakat pesisir — yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia, sekitar 64 persen dari total populasi.
Bukan hanya itu, perubahan iklim turut memicu tren kenaikan suhu di Indonesia. Berdasarkan pantauan BMKG, rata-rata kenaikan suhu di Indonesia mencapai 0,03 derajat Celsius per tahun dalam periode 1981-2018. Apakah ini pertanda kita harus mulai menerapkan solusi alternatif untuk mengantisipasi teriknya matahari?
Gambar header: Freepik.