Pemerintah Indonesia telah resmi merevisi regulasi terkait pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Revisi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Peraturan ini menggantikan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang hal yang sama.
Aturan baru PLTS atap ini mengubah sejumlah ketentuan penting yang ditetapkan dalam aturan sebelumnya, sehingga sangat penting untuk dipahami terutama bagi yang berminat melakukan pemasangan PLTS atap di kediamannya.
Berikut 5 hal yang perlu Anda ketahui terkait aturan baru PLTS atap yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
1. Tidak ada lagi skema jual-beli listrik
Berdasarkan ketentuan dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024, skema jual-beli listrik atau ekspor-impor listrik ke PLN yang selama ini dinikmati oleh pengguna PLTS atap sudah ditiadakan.
Ini berarti kelebihan energi listrik dari sistem PLTS atap yang masuk ke jaringan PLN tidak lagi diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan. Dengan kata lain, pengguna baru tidak akan mendapatkan potongan biaya tagihan listrik dengan memasang PLTS atap di rumahnya.
Perubahan ketentuan ini tentu berpotensi mengurangi daya tarik PLTS atap di kalangan pemilik rumah, sebab peluang menjual kelebihan produksi listrik ke PLN selama ini merupakan salah satu insentif utama yang dijanjikan kepada mereka.
2. Jual-beli masih berlaku untuk pelanggan lama
Lalu bagaimana dengan pelanggan lama PLTS atap? Kabar baiknya, aturan baru ini menetapkan bahwa skema jual-beli atau ekspor-impor listrik masih tetap berlaku untuk sistem PLTS atap yang telah beroperasi, namun hanya sampai 10 tahun sejak mendapatkan persetujuan dari pemegang IUPTLU.
Selain itu, bagi pelanggan yang sebelumnya telah mendapatkan persetujuan dari pemegang IUPTLU tetapi sistem PLTS atapnya masih belum beroperasi, skema jual-beli masih akan tetap berlaku selama 10 tahun sejak mendapatkan persetujuan.
3. Tidak ada batasan kapasitas, tapi ada kuota
Berdasarkan aturan lama, kapasitas PLTS atap yang akan dipasang oleh calon pelanggan tidak boleh melebihi daya yang tersambung. Ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi sekarang, namun kini ada sistem kuota yang perhitungannya harus diusulkan kepada Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM oleh pemegang IUPTLU.
Dengan kata lain, selama kuota pengembangan PLTS atap masih tersedia, maka pelanggan bisa mengajukan pemasangan. Mekanisme ini diberlakukan dengan tujuan menjaga kualitas penyaluran listrik PLN ke pelanggan PLTS atap tetap andal.
4. Penghapusan biaya paralel
Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 menghapus kewajiban membayar biaya operasi paralel bagi pelanggan PLTS atap.
Pengamat dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai penghapusan biaya paralel ini bisa menambah daya tarik PLTS atap bagi pelanggan di sektor industri, sebab mereka tidak perlu lagi membayar biaya kapasitas maupun biaya layanan darurat.
5. Target tidak berubah
Terlepas dari perubahan sejumlah ketentuan terkait PLTS atap, target kapasitas terpasang PLTS atap yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM tidak berubah, yakni 3,6 gigawatt (GW) pada tahun 2025.
Kuncinya ada pada sektor industri, bukan residensial. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, tidak menampik bahwa pengembangan PLTS atap untuk rumah tangga akan jadi kurang menarik dengan adanya aturan baru ini.
Alasannya, puncak beban listrik dalam konteks rumah tangga berada pada malam hari, sementara produksi listrik dari PLTS atap terjadi pada siang hari.
Dalam konteks industri, situasinya jelas berbeda, dan operasional PLTS atap di siang hari sangatlah ideal untuk kebutuhan industri. Itulah mengapa pemerintah akan mendorong pemanfaatan PLTS atap untuk industri, apalagi mengingat konsumsi listrik industri yang relatif stabil.
Gambar header: Watt A Lot via Unsplash.