Bioenergi memegang peran penting dalam upaya transisi energi Indonesia. Dari total bauran energi terbarukan sebesar 13,2% pada 2023, 7,7% di antaranya berasal dari bioenergi.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun menunjukkan bahwa kapasitas terpasang pembangkit listrik bioenergi pada 2023 mencapai 3.195,4 megawatt (MW). Kendati demikian, pengembangan industri bioenergi bukanlah tanpa tantangan.
Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu dalam seminar “Tantangan Industri Bioenergi” yang digelar di Jakarta pada 27 Februari 2024.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi industri bioenergi cukup beragam, mulai dari aspek kebijakan hingga teknologi, dari ekonomi hingga infrastruktur, serta dari sisi keberlanjutan suplai hingga keberterimaan masyarakat.
Salah satu tantangan yang cukup signifikan adalah dari sisi sustainability of feedstock atau jaminan ketersediaan sumber daya energi yang berkelanjutan dan tidak bersaing dengan produksi pangan, pakan ternak, bahan baku industri, dan pupuk.
Keterbatasan lahan untuk ditanami energy crop juga menjadi tantangan yang cukup kompleks karena kaitannya langsung dengan isu konservasi alam.
Lalu dari sisi ekonomi industri, tantangan terbesarnya adalah bagaimana biaya produksi bioenergi sering kali masih lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Lebih lanjut, insentif yang diberikan pemerintah pun cenderung terbatas dalam konteks ini.
Tantangan berikutnya adalah keterbatasan infrastruktur seperti pabrik pengolahan biomassa dan biogas, beserta jaringan distribusinya.
Tidak kalah penting adalah fakta bahwa tidak semua kalangan masyarakat menerima dengan baik pengembangan bioenergi, sebab ada kekhawatiran dampak lingkungan seperti penggunaan lahan yang berpotensi merusak ekosistem dan mempengaruhi keanekaragaman hayati.
Jisman turut menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi tidak selalu datang dari dalam negeri, namun juga dari pasar global. Ia mencontohkan sejumlah sikap diskriminatif Uni Eropa terhadap produk biofuel Indonesia, yang pada akhirnya menurunkan ekspor biodiesel Indonesia hingga 70%.
Solusinya?
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, Jisman menilai perlu ada pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri, akademisi, dan NGO.
Soal keterbatasan lahan misalnya, Jisman mengatakan isu ini dapat diatasi dengan memanfaatkan energy crop dan juga inovasi peningkatan produktivitas melalui rekayasa genetika dan replanting.
“Para pelaku usaha dan akademisi perlu melakukan penelitian dan pengembangan affordable technology dalam produksi, konversi, dan penggunaan bioenergi,” tutur Jisman, seperti dikutip dari Antara.
Ia juga menekankan pentingnya riset dan pengembangan sumber energi alternatif yang berkelanjutan, yang tidak bersaing dengan produksi pangan seperti limbah pertanian, sampah kota, dan tanaman khusus energi.
“Seperti pongamia, sorgum, dan tanaman lain, di mana sawit dapat menjadi benchmark sebagai komoditas yang mempunyai produktivitas tinggi dan harganya cukup terjangkau,” papar Jisman.
Gambar header: Freepik.