Biaya rata-rata energi listrik dari sumber terbarukan di Asia Pasifik mencapai titik terendah sepanjang sejarah pada tahun 2023.
Hal ini berdasarkan studi terbaru dari Wood Mackenzie, yang mencatat bahwa sumber energi terbarukan 13% lebih murah daripada batu bara pada 2023, dan diperkirakan menjadi 32% lebih murah pada 2030.
Tren ini menandai pergeseran menuju energi terbarukan yang semakin kompetitif dengan batu bara, yang sejauh ini masih menjadi sumber utama dalam bauran energi negara-negara Asia Pasifik.
Faktor pendorongnya sendiri adalah penurunan substansial biaya modal yang dibutuhkan untuk proyek energi terbarukan. Penurunan paling banyak terjadi di Tiongkok, dengan penurunan biaya sekitar 40-70% untuk energi surya, angin darat, dan angin lepas pantai dibandingkan dengan pasar Asia Pasifik lainnya.
Biaya energi surya pada 2023 turun sebesar 23%, menandakan berakhirnya gangguan dari sisi rantai pasokan dan tekanan inflasi. Dampaknya, energi surya kini menjadi sumber daya listrik termurah di 11 dari 15 negara Asia Pasifik.
Tahun 2030, biaya proyek pembangunan energi surya bahkan diperkirakan bisa turun lagi hingga 20% karena harga modul yang semakin murah dan kelebihan pasokan dari Tiongkok.
Penurunan biaya energi surya tentu juga membuka potensi perluasan adopsi PLTS atap. Namun sayangnya ini tidak berlaku di semua negara, sebab seperti yang kita tahu, di Indonesia adopsi PLTS atap di sektor residensial justru cenderung dibatasi oleh kebijakan pemerintah.
Selain energi surya, energi angin juga mengalami penurunan biaya pada tahun 2023. Untuk energi angin lepas pantai misalnya, ada penurunan sebesar 11%, yang membuat harganya kini bersaing dengan batu bara di Tiongkok.
Berbeda dengan penurunan biaya energi terbarukan, Wood Mackenzie mencatat bahwa biaya pembangkitan listrik dari batu bara dan gas telah meningkat 12% sejak 2020 dan diperkirakan akan terus naik hingga 2050, terutama karena mekanisme penetapan harga karbon.
Tren ini menunjukkan bahwa pembangkit gas, dengan biaya rata-rata yang tetap di atas $100 per MWh hingga 2050, secara bertahap akan kehilangan daya saing dengan energi angin lepas pantai dalam satu dekade mendatang.