Presiden Joko Widodo belum lama ini berkunjung ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Refuse Derived Fuel (RDF) di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, untuk meninjau produksi bahan bakar berbasis limbah di sana.
TPST RDF tersebut cukup mencuri perhatian karena merupakan yang pertama kali di Indonesia yang mampu menghasilkan bahan bakar pengganti batu bara dari limbah perkotaan.
Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan RDF? Bagaimana proses pembuatannya, dan apa saja kelebihan dan kekurangannya? Berikut penjelasannya.
Apa itu RDF?
Sesuai namanya, refuse-derived fuel atau RDF merupakan bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari berbagai jenis limbah padat melalui proses pemisahan, pengolahan, dan penghancuran.
Secara umum, RDF terdiri dari komponen limbah yang mudah terbakar seperti limbah pertanian, kertas karton, plastik, tekstil dan lain sebagainya.
Karena mengandung bahan-bahan anorganik, RDF umumnya tidak dikategorikan sebagai biomassa.
Wikipedia mencatat tahun 1950an sebagai periode awal pemanfaatan teknologi RDF. Kala itu, bahan baku yang dipakai adalah ban bekas, yang kemudian hasilnya dipakai di industri semen.
Proses pembuatan RDF
Proses produksi RDF berawal dengan tahap pemilahan untuk memisahkan barang-barang seperti logam, kaca, maupun objek-objek besar dari aliran limbah.
Limbah yang tersisa kemudian dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil. Pada fasilitas seperti TPST RDF di Cilacap, proses pencacahan ini dilanjutkan dengan proses pengeringan selama kurang lebih tiga minggu.
Setelahnya, limbah yang sudah dikeringkan akan kembali menjalani proses pemilahan. Langkah ini untuk memisahkan limbah yang masih memiliki bahan inert, seperti pasir dan batu, dari produk final RDF.
Sepanjang proses produksi RDF, tindakan kontrol kualitas akan selalu dijalankan demi memastikan bahwa RDF yang dihasilkan memenuhi kriteria tertentu untuk pembakaran, termasuk ukuran, kadar kelembaban, dan nilai kalornya.
Kelebihan dan kekurangan RDF
Pemanfaatan teknologi RDF dapat mendatangkan sejumlah keuntungan. Yang paling utama adalah pengurangan limbah perkotaan. Pembuatan RDF dapat membantu mengalihkan sebagian besar limbah perkotaan dari tempat pembuangan akhir dan mengurangi dampak lingkungannya.
RDF yang dihasilkan kemudian dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar untuk pemulihan energi di fasilitas industri.
RDF yang diproduksi oleh TPST RDF sendiri digunakan sebagai pengganti batu bara di pabrik semen milik PT Solusi Bangun Indonesia (SBI).
Dengan mengganti batu bara menjadi RDF, emisi gas rumah kaca keseluruhan dapat dikurangi, meski memang tidak sesignifikan jika menggunakan sumber energi terbarukan.
Terkait kekurangannya, RDF bukanlah solusi yang paling ekonomis dalam konteks pengelolaan limbah.
Pembangunan fasilitas untuk produksi dan pemanfaatan RDF memerlukan investasi yang cukup signifikan.
TPST RDF di Cilacap sendiri memakan biaya pembangunan sebesar 84 miliar rupiah, dengan lama pembangunan sekitar empat tahun.
Tak hanya modal awal yang besar, TPST RDF juga memiliki biaya operasional yang cukup tinggi di angka 4,2 miliar rupiah per tahun.
Di sisi lain, dengan kapasitas produksinya saat ini, TPST RDF baru bisa menghasilkan RDF dengan nilai setara 1,3 miliar rupiah per tahun.
Gambar header: WhaTech.