Di tengah upaya global untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, muncullah hidrogen sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
Banyak negara melihat hidrogen sebagai salah satu aspek yang sangat penting dalam upaya dekarbonisasinya.
Di Indonesia misalnya, pada pertengahan 2023 lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan Peta Jalan Strategi Nasional Hidrogen guna mendorong terbentuknya ekosistem pemanfaatan hidrogen di tanah air.
Langkah tersebut menjadi bukti nyata bahwa hidrogen sama sekali tidak boleh dikesampingkan, dan pemanfaatannya harus benar-benar dimaksimalkan sebagai bagian dari upaya transisi ke energi bersih.
Namun sebenarnya apa yang dimaksud dengan bahan bakar hidrogen? Bagaimana cara produksinya dan apa saja kelebihan serta kekurangannya? Berikut penjelasannya.
Apa itu bahan bakar hidrogen?
Hidrogen merupakan unsur yang sangat melimpah di alam semesta. Sifatnya yang sangat reaktif membuat hidrogen sulit diperoleh dalam bentuk murni, melainkan harus diekstraksi dari air, biomassa, dan bahkan bahan bakar fosil.
Setelah dipisahkan, molekul hidrogen dapat dimanfaatkan sebagai pembawa energi yang sangat efektif. Potensi ini membuat hidrogen sangat ideal untuk digunakan sebagai bahan bakar kendaraan, apalagi mengingat emisi yang dihasilkan hanya berupa air saja.
Karena dapat disimpan, hidrogen juga bisa membantu mengatasi masalah intermiten yang terkait dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari.
Hidrogen juga dapat dicampur dengan gas alam untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh sebuah pembangkit listrik.
Bagaimana hidrogen diproduksi?
Saat ini ada tiga metode yang umum digunakan untuk memproduksi hidrogen sebagai bahan bakar.
Metode yang paling banyak digunakan dikenal dengan istilah steam reforming. Pada proses ini, metana yang terkandung dalam gas alam diekstrak dan direaksikan dengan uap untuk menghasilkan hidrogen.
Berdasarkan data dari Departemen Energi Amerika Serikat, sekitar 95 persen dari semua hidrogen yang ada di pasar saat ini diproduksi dengan cara ini.
Metode selanjutnya adalah gasifikasi. Pada proses ini, batu bara atau material biomassa direaksikan dengan oksigen dan uap untuk menghasilkan gas sintesis. Kemudian, molekul hidrogen akan dipisahkan dari gas sintesis menggunakan sistem separasi.
Metode yang ketiga adalah elektrolisis air. Pada proses ini, air akan dialiri dengan listrik dalam jumlah besar guna memisahkan molekul hidrogen dari oksigen.
Dalam proses elektrolisis ini, apabila listrik yang digunakan berasal dari sumber terbarukan, maka hidrogen yang dihasilkan layak disebut sebagai hidrogen hijau karena proses produksinya sama sekali tidak meninggalkan jejak karbon.
Kelebihan dan kekurangan bahan bakar hidrogen
Hidrogen, khususnya hidrogen hijau, merupakan bahan bakar yang benar-benar tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) ketika dikonsumsi.
Selain ramah lingkungan, hidrogen juga mempunyai kepadatan energi (energy density) yang sangat tinggi. Persisnya di angka 33,3 kilowatt hour (kWh) per kilogram, jauh lebih tinggi daripada kepadatan energi baterai litium yang terdapat pada mobil listrik.
Kepadatan energi yang tinggi ini memungkinkan mobil berbahan bakar hidrogen untuk menempuh jarak yang jauh dalam sekali pengisian.
Contoh ekstremnya telah dibuktikan oleh Toyota pada tahun 2021 lalu. Kala itu, mobil hidrogennya yang bernama Toyota Mirai berhasil menempuh jarak 1.003 km dalam sekali pengisian tangkinya yang berkapasitas 5,5 kg.
Keunggulan lain bahan bakar hidrogen adalah perihal kecepatan pengisian. Mobil dengan bahan bakar hidrogen hanya membutuhkan waktu 3-5 menit untuk proses isi ulang tangkinya hingga penuh.
Ini jelas jauh lebih cepat daripada waktu charging yang dibutuhkan mobil listrik, yang berada di kisaran 20 menit hingga 1 jam untuk DC fast charging, atau malah 4-10 jam untuk home charging.
Namun meskipun menjanjikan, masih ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi sebelum hidrogen dapat diadopsi secara luas.
Yang paling utama adalah dari segi infrastruktur. Jangankan di Indonesia, di Amerika Serikat pun stasiun pengisian hidrogen masih sangat terbatas, terutama jika dibandingkan dengan stasiun pengisian kendaraan listrik.
Selain itu, penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan juga masih dinilai kurang efisien.
Pasalnya, efisiensi produksi hidrogen menggunakan metode elektrolisis air saat ini hanya sekitar 75 persen saja, dan konversi hidrogen ke listrik dalam sel bahan bakar (fuel cell) juga tak lebih dari 60 persen.
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan efisiensi energi baterai litium yang bisa mencapai 80 persen.
Tantangan yang terakhir adalah perkara harga. Fluktuasi harga bahan bakar hidrogen berpotensi menurunkan minat konsumen terhadap mobil hidrogen.
Sebagai contoh, dalam dua tahun terakhir, harga bahan bakar hidrogen di Amerika Serikat terus mengalami kenaikan drastis, dari rata-rata $16 per kg pada pertengahan 2022 menjadi $36 per kg pada September 2023.
Gambar header: Freepik.