Berbagai upaya pemerintah lancarkan untuk mengatasi masalah polusi udara yang kian memburuk. Penerapan kebijakan pajak karbon menjadi salah satu wacana, namun sayang implementasinya masih tertunda sejak April 2022.
Kepala PR Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi, mengatakan bahwa pajak karbon telah menjadi pembicaraan sejak lama. Menurutnya, penundaan dilakukan karena ada beberapa hal yang perlu dibenahi, ditambah lagi karena masih banyaknya masyarakat yang belum memahami.
Kebijakan pajak karbon semula dijadwalkan akan diterapkan pada April 2022, akan tetapi kemudian ditunda hingga Juli 2022, dan ternyata hingga sekarang masih belum diterapkan.
Dalam sebuah acara diskusi yang digelar secara daring pada Kamis (26/10/2023) lalu, Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PR EPS) BRIN, Deden Djoenudin, mengatakan bahwa Indonesia punya potensi spesifik dalam menerapkan pajak karbon, terutama jika melihat statusnya sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim.
Deden menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman negara-negara lain yang telah menerapkan pajak karbon, kebijakan ini terbukti dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan memberikan manfaat ekonomi.
Selain perbaikan kualitas lingkungan, pajak karbon dapat menghasilkan pendanaan yang dapat dialokasikan untuk semakin meningkatkan kualitas lingkungan lebih jauh lagi.
Deden mengidentifikasi tiga tujuan utama dari penerapan pajak karbon: mengubah perilaku pelaku ekonomi untuk beralih ke aktivitas ekonomi rendah karbon, mendukung penurunan emisi GRK, dan mendorong inovasi dan investasi.
“Maka, diharapkan perusahaan pelaku ekonomi akan bisa menyesuaikan teknologi yang diterapkannya selama ini. Jika semula menghasilkan emisi yang tinggi, maka dengan adanya pajak, perusahaan tersebut menyesuaikan teknologinya. Sehingga proses produksi yang digunakan bisa menjadi rendah emisi karbon,” ujar Deden, seperti dikutip dari siaran pers BRIN.
Deden tidak lupa menekankan pentingnya tiga prinsip dalam penerapan pajak karbon. Yang pertama adalah polluters-pay-principle, yang pada dasarnya adalah prinsip keadilan yang mewajibkan pihak yang melakukan pencemaran untuk menanggung beban pajak karbon.
Yang kedua adalah memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas. Dan terakhir adalah pendekatan secara bertahap dengan memprioritaskan sektor-sektor yang siap untuk menerapkan pajak karbon.
Deden merekomendasikan penerapan pajak karbon untuk ekspor batu bara, kendaraan bermotor, dan industri yang berpotensi mencemari udara.
Melengkapi itu adalah kebijakan insentif bagi usaha yang menurunkan polusi udara di perkotaan dan pedesaan, serta optimalisasi ruang terbuka hijau.