Peluncuran bursa karbon Indonesia dalam waktu dekat ini menandai kesiapan negara dalam menjalankan skema perdagangan karbon yang baku.
Namun yang mungkin masih perlu dipertanyakan adalah, seberapa siap ekosistem pasar karbon di negara ini dalam menghadapi perubahan yang akan datang?
Di banyak tempat, implementasi pasar karbon atau perdagangan karbon kerap datang dengan tantangan-tantangan uniknya tersendiri, dan situasinya pun kurang lebih sama di sini.
Menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah, sebab setiap pemangku kepentingan pasti punya perspektifnya sendiri-sendiri.
Dari sudut pandang pelaku misalnya, termasuk halnya kalangan startup greentech, kehadiran bursa karbon semestinya dapat dilihat sebagai peluang yang menjanjikan.
Salah satu contohnya adalah startup baru bernama envmission, yang benar-benar menyiapkan dirinya untuk menyambut bursa karbon Indonesia tidak lama lagi.
Tim Solum.id berkesempatan untuk berbincang singkat dengan kedua pendirinya, Tidar Bayu dan Gusti Raganata. Sebagai sesama alumni dari Jepang, keduanya sama-sama merasa tergerak untuk berkontribusi kepada Indonesia, khususnya dalam hal mitigasi perubahan iklim dan keberlanjutan.
Bermula dari diskusi singkat mengenai perubahan iklim di media sosial, keduanya akhirnya sepakat untuk serius mengeksplorasi ide bisnis yang berfokus pada pengembangan nilai ekonomi karbon di Indonesia.
Berikut adalah hasil perbincangan kami dengan tim envmission mengenai kondisi ekosistem pasar karbon Indonesia saat ini. Sebagian besar teksnya sudah disunting agar lebih mudah dibaca.
Bagaimana kondisi carbon market Indonesia saat ini menurut envmission? Apakah akan ada perubahan yang signifikan ketika bursa karbon nasional nanti resmi dibuka?
Perpres 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon menetapkan dasar atas perdagangan karbon saat ini. Namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) saat ini tengah memberlakukan moratorium terhadap perdagangan karbon di bidang kehutanan (forestry) sembari menunggu peluncuran bursa karbon. Sementara itu, perdagangan karbon di sektor energi sudah berjalan berdasarkan Permen ESDM 16/2022.
Meskipun Peraturan OJK (POJK) tentang bursa karbon sudah diterbitkan, ekosistem dan infrastruktur yang ada untuk perdagangan karbon hari ini masih tidak merata dan belum sepenuhnya siap. Contohnya bagaimana kesiapan bank kustodian, lalu bagaimana jika seandainya terjadi sengketa saat perdagangan berlangsung.
Selain itu, informasi mengenai apakah perdagangan langsung masih diperbolehkan atau tidak cenderung masih simpang siur. Meskipun demikian, kami mendorong pemerintah untuk mempercepat perdagangan karbon, baik di sektor kehutanan, laut, ataupun energi, sebab hanya tersisa beberapa tahun lagi untuk mengejar target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang cukup besar.
Seperti apa peluang carbon market di Indonesia?
Ketika berbicara tentang carbon market, kita cenderung berfokus pada perdagangan kredit karbon, terutama proyek yang berbasis solusi alami (nature-based solution) seperti restorasi ekosistem hutan tropis, lahan gambut, dan lain-lain.
Meskipun target pemenuhan NDC Indonesia untuk mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan merupakan target tertinggi, terdapat juga banyak peluang dari sektor lain, misalnya sektor energi, sektor industri dan penggunaan produk (IPPU), serta sektor limbah.
Selain itu, perdagangan karbon sendiri diperbolehkan untuk dilakukan lintas sektor, sehingga peluang proyek karbon di luar sektor dengan target pencapaian NDC tinggi juga akan sangat dibutuhkan.
Tantangan apa saja yang dapat menghambat laju perkembangan carbon market di Indonesia?
Ada beberapa hal. Pertama soal legalitas yang masih belum sempurna, yang dapat menyebabkan pasar bergerak di ranah abu-abu. Hal ini berpotensi menjadikan perdagangan dikuasai oleh segelintir kelompok yang memiliki akses saja, dan ini tentu akan merugikan kelompok masyarakat yang berharap mendapat insentif atas upaya mereka melakukan restorasi lingkungan atau merawat hutan.
Kedua terkait penegakan hukum. Proses penjualan karbon secara langsung yang masih terkena moratorium hari ini sengaja dilanggar oleh beberapa kalangan, terutama dari kalangan asing.
Mereka tidak mau patuh atas proses pendaftaran via Sistem Registri Nasional (SRN) yang disiapkan KLHK, dan ini dapat berakibat negatif pada penurunan NDC Indonesia. Tindakan ini juga tidak adil mengingat beberapa pemilik proyek dan pengembang patuh atas aturan tersebut, yang akhirnya tidak punya pemasukan akibat tidak bisa melakukan penjualan karbon.
Ketiga mengenai oversupply low-integrity carbon. Di Indonesia ini ekosistem yang diatur dalam Perpres 98/2021 serta metodologi yang tersedia secara internasional seperti Verra dan Gold Standard tidak dipatuhi oleh beberapa pelaku dalam ekosistem perdagangan karbon.
Hal ini menyebabkan rendahnya harga karbon di Indonesia, dan ketidaktertarikan perusahaan untuk melakukan offsetting akibat tidak patuhnya oknum-oknum tersebut atas aturan dan metodologi yang ada.
Target net zero Indonesia hingga saat ini masih sebatas wacana/diskusi, apakah ini bakal berpengaruh terhadap implementasi carbon market di sini?
Implementasi carbon market dengan SRN merupakan salah satu wacana net zero yang sudah akan dijalankan. Implementasi pasar karbon ini diharapkan akan mempunyai kontribusi signifikan terhadap NDC Indonesia, yang akan menurunkan emisi GRK tahunan sebesar 43,2% (dengan bantuan dari luar negeri) pada tahun 2030.
Maka dari itu, keberhasilan pasar karbon ini akan sedikit banyak menentukan pencapaian ambisi untuk mencapai net zero pada tahun 2060, dengan catatan transisi energi menuju energi terbarukan adalah motor utama dalam strategi nasional untuk mencapai net zero.
Dilihat dari sisi hukum/regulasi, apakah Indonesia sudah sepenuhnya siap mengimplementasikan carbon market?
Dari segi regulasi sebenarnya sudah cukup meskipun minimalis. Masih ada beberapa hal yang perlu diperjelas, misalnya terkait perdagangan langsung.
Apakah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) hanya bisa dijual di bursa karbon? Atau bisa juga langsung business-to-business (B2B) dengan pelaku dari dalam atau luar negeri?
Ini perlu diperjelas oleh institusi terkait di bawah Kemendag, seperti Bappebti seandainya pemerintah memperlakukan SPE-GRK seperti komoditas pada umumnya.
Apa saja hal yang bisa Indonesia pelajari dari implementasi carbon market yang sudah ada, misalnya EU ETS atau China ETS?
Pasar karbon Uni Eropa merupakan salah satu contoh best practice carbon market. Indonesia perlu mengadopsi langkah-langkah preventif Uni Eropa terhadap market abuse dan market misconducts untuk menjaga integritas pasar karbon.
Langkah-langkah yang dimaksud di antaranya adalah pemberlakuan regulasi instrumen finansial terhadap unit kredit karbon seperti yang diatur dalam Markets in Financial Instruments Directive (MiFID 2) dan Market Abuse Regulation (MAR).
Selain regulasi, Indonesia juga diharapkan dapat mengedepankan transparansi, akses informasi terkait, dan terbuka untuk dilakukan monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pasar karbon nantinya, seperti evaluasi yang dilakukan oleh European Securities and Markets Authority (ESMA) terhadap pasar karbon Uni Eropa.
Gambar header: Freepik.