Pada 2021, Indonesia menyampaikan target untuk mencapai net zero emission pada 2060. Indonesia bukan satu-satunya negara yang punya program untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Faktanya, ada 197 negara yang menandatangani Perjanjian Iklim Paris di 2015. Tujuan perjanjian itu adalah untuk membatasi kenaikan suhu Bumi, agar hanya menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2100. Dan target itu bisa dicapai dengan membatasi emisi gas rumah kaca.
Pada dasarnya, net zero emission berarti sebuah entitas tidak lagi menghasilkan gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida dan metana. Karbon dioksida merupakan hasil dari proses pernapasan manusia dan pembakaran dari bahan bakar fosil. Sementara metana merupakan gas yang muncul dari berbagai kegiatan manusia, mulai dari toilet di rumah tangga, pembuangan sampah, sampai pertanian dan peternakan.
Karbon dioksida dan metana punya dampak buruk pada lingkungan karena keduanya menyebabkan efek rumah kaca. Tanpa gas rumah kaca di atmosfer, sinar matahari yang sampai ke permukaan Bumi akan diserap secukupnya dan dipantulkan kembali, seperti yang dijelaskan oleh Waste4Change.
Namun, keberadaan karbon dioksida dan metana di atmosfer justru membuat sinar matahari terperangkap, yang dapat membuat suhu Bumi naik. Dan pemanasan global dapat memberikan berbagai dampak buruk, baik pada kesehatan dan juga keadaan ekonomi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa menciptakan dunia net zero akan menjadi tantangan terbesar yang manusia harus lewati. Untuk mencapai target tersebut, kita harus mengubah cara kita dalam memproduksi dan mengonsumsi sesuatu. Selain itu, kita juga harus merombak industri transportasi. Namun, tidak semua emisi bisa dihindari. Dan di sinilah fungsi “offsetting“.
Offsetting berfungsi untuk menyingkirkan gas rumah kaca dari atmosfer. BBC menyebutkan, metode alami untuk melakukan offsetting adalah dengan menanam pohon dan memulihkan lahan gambut.
Metode lain untuk menurunkan kadar gas rumah kaca di atmosfer adalah dengan menangkap karbon dioksida di udara dan menyimpannya di bawah tanah. Sayangnya, teknologi untuk melakukan hal ini masih baru dan membutuhkan biaya besar.
Sumber header: Pexels