Tren pemanfaatan sumber energi terbarukan tidak luput dari perdebatan, utamanya seputar kekhawatiran bahwa teknologi-teknologi energi bersih ini menuntut pasokan bahan-bahan hasil tambang dalam jumlah banyak.
Namun menurut laporan terbaru dari Breakthrough Institute, sumber-sumber energi beremisi rendah seperti angin, matahari, dan nuklir justru mempunyai jejak pertambangan yang lebih kecil dibanding batu bara dan gas alam.
Laporan ini semakin memperkuat bukti-bukti yang ada, yang mengatakan bahwa teknologi energi bersih akan mewujudkan masa depan yang lebih minim pertambangan ketimbang era energi fosil.
“Dalam banyak hal, kita terlalu banyak berbicara tentang penambangan dan teknologi energi bersih, dan kita justru lupa akan betapa kotornya sistem yang ada saat ini,” ujar Seaver Wang, salah satu penulis laporan tersebut, seperti dikutip dari MIT Technology Review.
Dalam analisis yang dilakukan Seaver bersama timnya, mereka membandingkan jejak pertambangan total dari sejumlah teknologi energi yang berbeda, termasuk jumlah material yang dibutuhkan untuk sumber-sumber energi itu, dan jumlah total batuan yang perlu dipindah untuk mengekstrak material tersebut.
Pada berbagai batuan yang menjadi sumber, mineral biasanya hanya terdapat dalam jumlah kecil, yang berarti proses ekstraksinya memiliki jejak yang besar dibandingkan dengan jumlah produk akhirnya.
Sebagai contoh, untuk menambang satu kilogram aluminium, perlu ada sekitar tujuh kilogram batuan yang dipindahkan. Untuk material lain seperti tembaga, rasionya malah lebih tinggi lagi di angka 1:500.
Dengan mempertimbangkan rasio-rasio ini, Seaver dan timnya dapat secara langsung membandingkan jumlah penambangan yang dibutuhkan untuk setiap sumber energi.
Berdasarkan hasil penghitungan mereka, batu bara adalah sumber energi dengan jejak pertambangan terbesar. Menghasilkan satu gigawatt hour (GWh) listrik dengan batu bara menghasilkan jejak pertambangan 20 kali lipat lebih besar ketimbang memanfaatkan sumber lain seperti angin dan matahari.
Lalu untuk memproduksi daya listrik yang sama besarnya dengan menggunakan gas alam, perlu ada dua kali lipat lebih banyak batuan yang harus dipindahkan.
Seaver mengakui bahwa metode penghitungan yang dipakai tidaklah sempurna, akan tetapi setidaknya laporan ini dapat membantu para peneliti menarik kesimpulan, salah satunya yakni transisi energi akan berujung pada lebih minim pertambangan di masa depan.
Terlepas dari itu, laporan ini tetap mengingatkan pentingnya upaya lebih lanjut untuk semakin meredam dampak pertambangan dalam transisi energi. Selain peningkatan efisiensi teknologi, daur ulang juga dapat membantu menekan permintaan material ke depannya.
Gambar header: Unsplash.