Penggunaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan transportasi merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Kendaraan listrik merupakan solusi untuk masalah ini, namun itu bukan satu-satunya solusi yang bisa diandalkan.
Alternatif lainnya adalah menggunakan bahan bakar nabati atau biofuel, salah satunya bioetanol yang belakangan semakin banyak dibicarakan sebagai solusi energi terbarukan.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan bioetanol? Bagaimana proses pembuatannya? Dan apa saja kelebihan beserta kekurangan yang ditawarkannya? Berikut penjelasannya.
Apa itu bioetanol?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengenal etanol terlebih dahulu. Etanol atau etil alkohol adalah senyawa organik yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen dengan rumus kimia C2H5OH.
Etanol datang dalam bentuk cairan bening tidak berwarna yang memiliki tingkat toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yang besar seandainya bocor. Lebih lanjut, etanol dapat terurai secara biologis (biodegradable).
Mengutip European Biomass Industry Association (EUBIA), etanol dapat diklasifikasikan sebagai bahan bakar beroktan tinggi, dan telah terbukti dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam bensin.
Bioetanol di sisi lain adalah etanol yang diproduksi dengan metode biologis, umumnya dengan mengolah tanaman-tanaman seperti tebu, jagung, gandum dan lain sebagainya.
Bioetanol adalah salah satu bahan bakar nabati yang paling banyak diproduksi di dunia. Pada tahun 2016, produksi bioetanol secara global mencapai angka 18,3 juta ton. Dua negara penghasil bioetanol terbesar adalah Amerika Serikat dan Brasil.
Proses pembuatan bioetanol
Metode paling umum untuk memproduksi bioetanol adalah melalui fermentasi mikroba pada tanaman yang mengandung gula.
Tahap paling pertama adalah mencacah dan menjalankan proses hidrolisis pada tanaman yang menjadi bahan baku guna memecah dinding selnya. Ini bertujuan untuk memudahkan mikroorganisme yang nantinya akan mengakses komponen gula yang terkandung di dalamnya.
Selanjutnya, gula yang dihasilkan akan difermentasikan menggunakan mikroorganisme seperti ragi. Mikroorganisme ini akan memakan gula dan menghasilkan etanol serta karbon dioksida sebagai produk sampingan.
Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi memiliki kadar yang rendah dan kandungan air yang tinggi. Maka dari itu dibutuhkan proses distilasi untuk memisahkan etanol dari air dan komponen lain.
Proses distilasi ini bekerja dengan memanaskan campuran air dan etanol. Mengingat etanol memiliki titik didih yang lebih rendah (78,3° C) daripada air, maka etanol akan berubah menjadi uap sebelum air, sehingga dapat dikondensasi dan dipisahkan.
Kelebihan dan kekurangan bioetanol
Bioetanol menawarkan sejumlah keuntungan, utamanya dari segi emisi karbon yang dihasilkan ketika dibakar, yang lebih rendah dibandingkan bensin konvensional.
Studi menunjukkan bahwa menggunakan campuran bensin 90% dan bioetanol 10%, tingkat emisi kendaraan dapat turun hingga 8%.
Penurunannya tentu akan semakin besar seiring campuran bioetanolnya diperbanyak. Contohnya, campuran bensin 15% dan bioetanol 85% diyakini mampu menurunkan emisi hingga 60-80%.
Di Indonesia, bioetanol sejauh ini sudah digunakan sebagai campuran dari bahan bakar Pertamax Green 95 yang ditawarkan oleh Pertamina, dengan komposisi bioetanol sebesar 5%.
Sayangnya, bioetanol juga memiliki sejumlah kekurangan, khususnya berkaitan dengan efisiensi produksinya. Penelitian menunjukkan bahwa produksi bioetanol mengonsumsi lebih banyak energi daripada output energi yang dapat dihasilkan oleh bioetanol itu sendiri.
Lebih lanjut, peningkatan produksi bioetanol juga dapat memicu konversi lahan pertanian untuk ditanami bahan baku bioetanol, sehingga berpotensi mengancam ketahanan pangan.
Bioetanol merupakan sumber energi terbarukan yang menjanjikan. Namun, penelitian dan pengembangan masih dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi produksinya, serta memastikan keberlanjutan pasokan bahan baku tanpa mengganggu sektor pertanian.
Gambar header: Freepik.