Tak bisa dimungkiri, usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu pilar terpenting dalam perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah (Kemenkop), sektor UKM berkontribusi terhadap 60,5% dari total produk domestik bruto (PDB) nasional, sekaligus membantu menyerap hingga 97% dari total tenaga kerja yang tersedia.
Namun terlepas dari peran besarnya terhadap perekonomian, sayangnya UKM juga menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), emisi terkait energi dari sektor UKM pada tahun 2023 diperkirakan mencapai angka 216 juta ton karbon dioksida. Angka tersebut setara dengan separuh emisi sektor industri secara nasional pada 2022.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa sekitar 95% dari emisi sektor UKM berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, sementara 5% sisanya dari pembakaran sampah.
Menurut Fabby, apabila tidak ada langkah signifikan yang diambil untuk mengurangi emisi sektor UKM, bukan tidak mungkin emisinya akan meningkat di kemudian hari.
Analis Data Energi IESR, Abyan Hilmy Yafi, menjelaskan bahwa untuk memulai upaya dekarbonisasi industri UKM, ada beberapa pendekatan yang bisa diambil, dari yang bersifat peningkatan pemahaman hingga solusi teknis seperti penggantian teknologi.
“Untuk lintas sektor perlu adanya peningkatan pemahaman pelaku UKM tentang konsumsi energi dan emisi yang mereka hasilkan. Juga perlu sosialisasi aktif untuk mempromosikan energi terbarukan. Secara sektoral, terdapat beberapa rekomendasi teknis seperti penggunaan boiler elektrik pada industri tekstil dan pakaian,” tutur Abyan, seperti dikutip dari siaran pers IESR.
Sering kali, tantangan dalam menjalankan upaya dekarbonisasi industri UKM antara lain adalah adanya gap pengetahuan dari pemilik atau pengelola UKM tentang emisi, energi, ataupun perubahan iklim dan relevansinya pada bisnis mereka.
Selain gap pengetahuan, finansial pun juga menjadi tantangan lain yang perlu mendapat perhatian khusus.
Bo Shen, seorang peneliti dari Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), menjelaskan bahwa ketika pelaku UKM sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk melakukan dekarbonisasi, kendala berikutnya sering kali adalah soal pembiayaan.
“Biaya yang harus dibayarkan di depan (upfront cost) yang ada saat ini untuk misal mencari vendor teknologi ataupun penyedia jasa energi masih cukup tinggi untuk skala keuangan UKM,” ungkap Bo.
Gambar header: Mahmur Marganti via Unsplash.