Pulau Nusa Penida yang berada di provinsi Bali punya peluang menjadi pulau pertama di Indonesia yang sepenuhnya bergantung pada sumber energi terbarukan pada tahun 2030.
Wacana ini merupakan bagian dari strategi pemerintah provinsi (pemprov) Bali dalam mencapai target net zero emission (NZE) pada 2045. Dibantu sejumlah mitra non-pemerintah, penyusunan peta jalan Bali NZE 2045 saat ini tengah berjalan, dan kajian awal Nusa Penida dengan 100% energi terbarukan pada 2030 sendiri dijadwalkan meluncur pada 6 Maret 2024.
Mengapa harus Nusa Penida? Institute for Essential Services Reform (IESR) yang menjadi salah satu mitra pemprov Bali punya setidaknya tiga alasan: ketersediaan potensi energi terbarukan yang melimpah, letak geografis yang terpisah dari Bali daratan, dan potensi ekonomi dari pengembangan sektor pariwisata hijau.
Berdasarkan analisis IESR dan Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Udayana, potensi energi terbarukan di Nusa Penida mencapai lebih dari 3.219 megawatt (MW) yang terdiri dari 3.200 MW PLTS ground-mounted, 11 MW PLTS atap, dan 8 MW biomassa. Ini belum termasuk potensi sumber-sumber lain seperti angin, arus laut, dan biodiesel.
Hasil pemodelan IESR pun menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan listrik Nusa Penida pada 2030 dengan 100% energi terbarukan, sumber energi dominan yang harus menjadi tumpuan adalah PLTS. Alasannya tidak lain karena sumbernya yang melimpah, serta teknologinya yang semakin murah.
Untuk mengatasi sifat intermiten dari PLTS (yang sangat dipengaruhi kondisi cuaca dan waktu), Nusa Penida juga memiliki potensi penyimpanan daya hidro terpompa hingga 22,7 MW, plus sistem penyimpanan energi berbasis baterai.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa apabila pembangkit energi terbarukan ditingkatkan, maka biaya produksi listriknya bisa lebih murah dibanding menggunakan pembangkit listrik diesel.
“Konsumsi bahan bakar saat ini saja untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) biaya produksi listriknya bisa mencapai Rp4,5 ribu per kWh. Dengan 100 persen energi terbarukan, maka biaya produksi listriknya bisa turun 30-40%,” papar Fabby, seperti dikutip dari siaran pers IESR.
Tahap pertama dalam mencapai 100% energi terbarukan pada tahun 2030 adalah dengan menerapkan sistem diesel daytime-off, yang akan memaksimalkan pemanfaatan sistem PLTS dan penyimpanan energi berbasis baterai.
Bersamaan dengan itu, diperlukan pula kajian lebih lanjut terkait sumber energi terbarukan lainnya, seperti produksi biomassa, biodiesel, arus laut, dan angin. Hal ini demi memastikan penggunaan diesel bisa benar-benar disetop pada 2030.
Gambar header: PLN.