Pengembangan infrastruktur energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia terus bertumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu indikasinya adalah tercapainya skala keekonomian harga EBT yang dinilai semakin kompetitif.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa harga listrik dari pembangkit EBT sudah hampir mendekati harga listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil, dan bahkan ada yang lebih efisien.
Mengutip siaran pers Kementerian ESDM, perkembangan positif ini memberikan keseimbangan persaingan usaha antara EBT dan energi fosil. Alhasil, pemerintah jadi punya alasan kuat untuk menjadikan EBT sebagai sumber energi utama.
Salah satu penyebab harga listrik dari pembangkit EBT semakin murah adalah kemajuan teknologi yang diimplementasikan, khususnya pada sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan bayu (PLTB).
Kemajuan ini memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan biaya produksi listrik yang dihasilkan jika dibandingkan dengan pembangkit energi fosil.
Deden mencontohkan harga listrik yang dihasilkan oleh PLTB Sidrap dan PLTB Jeneponto sebesar 10,9 sen dolar per kilo Watt hour (kWh). Kedua PLTB tersebut kontraknya disetujui pada tahun 2016.
Tujuh tahun berselang, saat ini sudah ada kontrak PLTB baru di Kalimantan Selatan dengan kapasitas yang kurang lebih sama di angka 75 megawatt (MW), dan harga listrik di bawah 6 sen dolar per kWh.
Deden tidak lupa membandingkan harga listrik dari pembangkit EBT dan pembangkit berbasis energi fosil, seperti misalnya batu bara (PLTU). Menurutnya, energi hijau bahkan lebih murah, membuktikan bahwa pembangkit listrik EBT bisa lebih kompetitif.
“Harga listrik PLTS Cirata (5,8 sen dolar per kWh) itu angkanya di bawah 6 sen dolar per kWh juga. Kalau ingin sederhana hitung saja, misal produksi listrik dari batu baru satu kWh itu perlu sekitar 0,7 sampai 0,8 kilogram batu bara,” tutur Deden.
“Jadi komponen bahan bakarnya itu bisa langsung dihitung di situ. Yang per sekarang angkanya harus lebih mahal dari yang tadi. Ya apakah EBT ini kompetitif? Sekarang sudah tendensinya ke situ,” lanjutnya.
Kalau melihat harga batu bara acuan (HBA) yang berada di kisaran 125-130 dolar per ton, maka harga listrik dari EBT sudah dapat bersaing dengan harga listrik berbasis fosil.
“Dengan HBA saat ini berkisar di angka sekitar 130 dolar per ton ini sudah bisa bersaing. Jadi EBT ini sekarang sudah masuk skala keekonomian,” jelas Deden.
“Kita head to head saja dengan fosil sudah bisa. Jadi narasi yang ingin saya bangun itu adalah sekarang tidak ada alasan lagi untuk tidak memakai EBT,” pungkasnya.
Gambar header: Markus Spiske via Unsplash.