Memangkas emisi gas metana (CH4) merupakan salah satu cara paling efektif untuk membatasi dampak pemanasan global, dan kemajuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) dapat membantu mengakselerasi upaya tersebut.
Dibandingkan gas rumah kaca lain seperti karbon dioksida (CO2), metana jauh lebih efektif dalam memerangkap panas meskipun konsentrasinya di atmosfer lebih rendah.
Dalam kurun waktu 20 tahun misalnya, emisi metana diperkirakan sekitar 80 kali lebih berbahaya ketimbang emisi karbon dioksida. Dan untuk memenuhi target yang ditetapkan di Persetujuan Paris, dunia harus bisa mengurangi emisi metana sebesar 40 hingga 45 persen.
Problemnya, memetakan kepulan gas metana bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Utamanya karena gas metana tidak berwarna dan tidak berbau, sehingga mustahil untuk diidentifikasi dengan mata telanjang.
Diperlukan bantuan pencitraan udara (aerial imagery) untuk memetakan kepulan gas metana, tapi nyatanya cara ini pun juga punya tantangannya sendiri.
Sama seperti mata manusia, kebanyakan sensor satelit multispektral tidak bisa mendeteksi gas metana. Kalau pun sensornya mampu mendeteksi, data yang terkumpul sering kali penuh noise, sehingga perlu intervensi manual untuk bisa mengidentifikasi kepulan metananya secara akurat.
Di sinilah AI datang membantu. Sekelompok peneliti dari University of Oxford berhasil mengembangkan sebuah alat berbasis machine learning yang dapat memetakan kepulan gas metana dari data yang dikumpulkan oleh sensor satelit hiperspektral.
Dibanding sensor multispektral, sensor hiperspektral dapat lebih mudah memfilter noise dan menghasilkan data dalam jumlah yang lebih besar. Namun mengolah datanya jelas akan sangat sulit tanpa melibatkan AI.
Model AI ini dilatih menggunakan 167.825 petak gambar hiperspektral yang ditangkap oleh sensor Airborne Visible/Infrared Imaging Spectrometer (AVIRIS) besutan NASA di dataran Amerika Serikat. Setiap petak gambar tersebut mewakili area seluas 1,64 km².
Algoritmanya kemudian diaplikasikan ke data yang ditangkap oleh sensor hiperspektral lain yang berada di orbit, salah satunya sensor Earth Surface Mineral Dust Source Investigation (EMIT) milik NASA yang terpasang pada International Space Station (ISS). Alhasil, cakupannya pun bisa menyelimuti hampir keseluruhan permukaan Bumi.
AI ini diklaim mampu mendeteksi kepulan besar gas metana dengan tingkat akurasi di atas 81%, dan sekitar 21,5% lebih presisi daripada teknik paling akurat yang sebelumnya.
“Yang membuat riset ini menarik dan relevan adalah fakta bahwa dalam beberapa tahun ke depan, akan ada lebih banyak satelit hiperspektral yang beroperasi, termasuk dari ESA, NASA, dan pihak swasta,” ungkap Vít Růžička selaku peneliti utama dalam proyek ini, seperti dikutip dari siaran pers Oxford.
“Perpaduan sensor-sensor baru ini akan memberikan cakupan hiperspektral secara global, memungkinkan pendeteksian kepulan metana secara otomatis di seluruh dunia,” imbuhnya.